Semakin berilmu seseorang, seharusnya ia semakin tahu akan tanda-tanda Kebesaran Allah SWT, maka seharusnya pula ia semakin beriman kepada-Nya, semoga kita bagian dari orang-orang itu, Amin.
Tampilkan postingan dengan label Fiqih Pengusaha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih Pengusaha. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 Maret 2016

Praktik Bank Syariah Vs Fatwa DSN MUI


By Konsultasi Syariah

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Di Indonesia sekarang makin banyak bank yang pakai embel-embel “syariah”.
Pertanyaan : bank apa di Indonesia yang memang bener-bener menurut syariat,atau memang sampai saat ini belum ada.

Dari: Sutanta

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bank syariah di Indonesia, belum murni syariah. Masih banyak transaksi bank syariah yang bertabrakan dengan aturan syariah. Di antara buktinya, praktik bank syariah di Indonesia berseberangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI yang menerbitkan beberapa keputusan tentang aturan syariah terkait transaksi dalam perbankan dan muamalah.

Berikut keterangan selengkapnya:

Tidak semua klaim yang dikemukakan bank syariah telah sesuai dengan bukti praktik di lapangan. Agar dikatakan layak secara syariah, bank syariah menyatakan dirinya telah sesuai dengan fatwa DSN MUI. Namun, lain dikata, lain realita, ternyata banyak praktik bank syariah yang bertentangan dengan fatwa DSN MUI.

Untuk membuktikan hal itu, mari kita adakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI dengan praktik yang diterapkan di perbankan syariah. Semoga perbandingan ini menjadi masukan positif bagi semua kalangan yang peduli dengan perkembangan perbankan syariah di negeri kita.

Fatwa Pertama: Tentang Murabahah Kontemporer
Akad Murabahah adalah salah satu produk perbankan syariah yang banyak diminati masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan konvensional yang tentu sarat dengan riba.

Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah. Tapi bagaimana praktik bank syariah terhadap fatwa Murabahah?

DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Hal. 24)

Komentar:
Bank syariah manakah yang benar-benar menerapkan ketentuan ini, sehingga barang yang diperjual-belikan benar-benar telah dibeli oleh bank?

Pada praktiknya, perbankan syariah hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka).

Adakah bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu Anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktik perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.

Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil)
Akad mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktik perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktik perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi praktik bank syariah perlu ditinjau ulang.

Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 43)

Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 45)

Komentar:
Praktik perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional.

Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak cerita dari nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini.

Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas
Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi.

Dewan Syariah Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002 membolehkan praktik ini. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan:

“Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 154)

Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.”

Komentar:
Perbankan syariah manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa perbankan syariah yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang.

Jika bank syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.

Dus, lagi-lagi praktik perbankan syariah nyata-nyata melanggar fatwa DSN.

https://konsultasisyariah.com/10629-praktik-bank-syariah-vs…

Senin, 21 Desember 2015

Hukum Asuransi Syariah

apa hukumnya asuransi syariah?Apakah memang sudah sesuai syariah? (Farid Ma’ruf, Bantul).
Jawab :
asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ (hibah) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/ kezaliman, suap, barang haram dan maksiat. (Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001, hlm. 5; Al Ma’ayir Al Syar’iyah, AAOIFI, 2010, hlm. 376).
Dalil-dalil asuransi syariah antara lain dalil tolong menolong (QS Al Maidah : 2) dan dalil tabarru’ (hibah). Ada dalil hadis yang diklaim sebagai dasar asuransi syariah, yakni hadis tentang Kaum Asy’ariyin. Dari Abu Musa Asy’ari RA, ia berkata,”Nabi SAW bersabda,’Kaum Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih). (Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3).

Dalam asuransi syariah tanpa tabungan (non saving), seluruh premi yang dibayarkan peserta asuransi menjadi dana tabarru’ (hibah), yang dikelola oleh perusahaan asuransi berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut.
Sedang dalam asuransi syariah dengan tabungan (saving), premi yang dibayarkan dibagi dua; (1) dana untuk tabarru’, dan (2) dana untuk investasi. Dana tabarru’ dikelola perusahaan asuransi yang mendapat ujrah (fee) berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut. Dana investasi dikelola perusahaan asuransi dengan akad mudharabah / musyarakah.

Menurut kami, asuransi syariah ini hukumnya haram, karena 4 (empat) alasan sbb :

Pertama, dalil hadis Asy’ariyin yang digunakan tak tepat. Sebab dalam hadis tersebut, bahaya terjadi lebih dahulu, baru terjadi proses ta’awun (tolong menolong). Sedang pada asuransi syariah, ta’awun dilakukan lebih dahulu, padahal bahayanya belum terjadi sama sekali. Menurut Syaikh ‘Atha` Abu Rasyta, menggunakan hadis Asy’ariyin sebagai dasar asuransi syariah adalah istidlal yang keliru. (Ajwibatu As`ilah, 7/6/2010).

Kedua, akad hibah (tabarru’) dalam asuransi ayariah tak sesuai dengan pengertian hibah. Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah memberikan kepemilikan tanpa kompensasi (tamliik bilaa ‘iwadh). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Hibah, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1169). Sementara dalam asuransi ayariah, peserta asuransi memberikan dana hibah, tapi mengharap mendapat kompensasi (‘iwadh / ta’widh), bukannya tak mengharap. Ini sama saja dengan menarik kembali hibah yang diberikan yang hukumnya haram, sesuai sabda Nabi SAW,”Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari & muslim). (Yahya Abdurrahman, asuransi dalam Tinjauan syariah, hlm. 42).

Ketiga, tak sesuai dengan akad dhaman (pertanggungan) dalam fiqih Islam. Sebab pada asuransi syariah, hanya ada dua pihak, bukan tiga pihak sebagaimana dhaman. Dua pihak tersebut: Pertama, penanggung (dhamin), yaitu peserta asuransi; kedua, pihak yang mendapat tanggungan (madhmun lahu), yaitu juga para peserta asuransi. Jadi dalam asuransi syariah tak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak tertanggung (madhmun anhu).

Keempat, terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (uqud murakkabah, multiakad), yaitu penggabungan akad hibah, akad ijarah, dan akad mudharabah. Padahal multiakad telah dilarang dalam syariah. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad). (HR Ahmad, hadis sahih). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/308). Wallahu a’lam.(Ustadz Siddiq al Jawi)

Sumber:http://hizbut-tahrir.or.id/2012/06/07/hukum-asuransi-syariah/

Rabu, 25 November 2015

Contoh akad Jual Beli yang diperbolehkan menurut Syariat Islam

Kendaraan bagi pengusaha itu sudah jadi kebutuhan. Karena bisa dipakai untuk operasional kantor atau simbol status sosial. Apapun tujuannya, pengusaha mesti baca cerita dari pak Saptuari Sugiharto ini sebelum memutuskan kredit kendaraan. Jgn sampai menyesal!

Saya bertanya pada tadz Samsul Arifin SBC , kenapa leasing mobil itu jatuhnya riba. Beliau menjelaskan begini.
Ada dua skema jual beli kredit:

Skema 1:
YANG BOLEH DALAM ISLAM
Pakai singkatan gini ya,
B: Bank | D: Dealer | N: Nasabah
Ini yang benar pada Aqad Murobahah (jual beli kredit)

*Nasabah ngomong ke Bank:
"Aku mau beli mobil nih.. Cuma kalau cash uangnya belum kumpul semua. Bisa bantu kan?"
B: "Bisa lah.. Kita kan teman? Mau mobil apa Bro?"
N: "Ya.. Mobil pick-up saja. Buat nambah armada delivery"
B: "Oke.. Aku beliin ya! Yang Suzuki kan?
N: "Oke-oke. Suzuki pick up cukup"

*Lalu Bank datang ke Dealer
B: "Bro.. Aku ada pesanan mobil nih, ada pick-up Suzuki gak?
D: "Siap Bro.. Tuh, Standby di showroom, 100 juta, bungkus! Klo ke orang lain aku kasih 120 juta bro"
B: "Oke bungkus deh, Ini check tunai 100 juta ya Bro!"
D: "Siyyaap, Ini BPKB, STNK, kunci-kunci dan silakan bawa mobilnya.."
B: "Siip.. Deal! Hmmm... Btw, boleh aku nitip mobilnya 1 atau 2 hari ini Bro?"
D: "Silakan.. Silakan.. Insya ALLAH amaan"

*Keesokan harinya Bank mengajak Nasabah datang ke showroom Dealer.
B: "Bro.. Ini mobil pesananmu.. Cocok?"
N: "Yess Bro.. Pas banget, Berapa Bro?"
B: "Cuma 120 juta. Biar ringan, cicil saja 24 bulan x Rp 5 juta sebulan. Oke?"
N: "Thank you berat bro! 5 juta sebulan mah ringan kalau gitu Bro. Bungkus deh. Ini 5 jutanya yang cicilan pertama yak!"
B: "Siip.. Kuterima 5 jutanya ya Bro.. Ini STNKnya, BPKBnya, kuncinya.."

Transaksi selesai, BPKB atas nama siapapun gak masalah, yang penting hak kepemilikan adalah Nasabah.

----------------------
Skema 2:
YANG TIDAK BOLEH DALAM ISLAM
Dan ini yang dipraktekkan oleh semua leasing sekarang!
B: Bank | D: Dealer | N: Nasabah

*Nasabah datang ke Bank
N: "Bro.. Aku perlu mobil nih, Biasa lah, buat tambahan armada delivery.. Mobil pick up Suzuki. Yang irit aja bensinnya"
B: "Sudah lihat mobilnya Bro?"
N: "Sudah, di showroon D sebelah"
B: "Berapa harganya?"
N: "Katanya 100 juta Bro, Cuma uangku gak cukup, ada baru 20 juta.."
B: "Ya gpp.. Bayar yang 20 juta ke dealer, nanti yang 80 jutanya aku talangin deh!"
N: "Lalu, aku ngembaliin talangannya gimana Bro?"
B: "Gini saja, bayar saja tiap bulan 5 juta selama 20 bulan Bro! Ringan kan?"
N: "Hehehe.. Iya ya.. Jadi ringan kalau cuma 5 jt sebulan. Bungkus deh Bro!"
B: "Eitt.. Tunggu dulu, BPKBnya simpen sini dulu sampe selesai 20 bulan ya Bro!"
N: "Oke.. Tak masalah.. Aku perlu STNKnya saja kok buat polisi"
B: "Hehehe... Deal.. Deal..."

-----------
Skema pertama itu sektor riil. Sedangkan bank (syariah) menurut UUBI tidak boleh masuk ke sektor riil. 
Jadi di Bank Syariah, tidak ada aqad Murobahah, yang ada aqad "ATTAMWIIL al Murobahah" atau Aqad utang-piutang.

Kesimpulan Leasing itu bathilnya 2 hal:
1. Dua aqad pada satu aqad, atau dua transaksi pada satu transaksi. Yaitu 
- Aqad sewa (ijaaroh) 
- Aqad jual beli kredit (murobahah)

2. Ribanya pada kelebihan dana talangan kekurangan pembayaran.
Saya bertanya lagi "terus gimana lagi tadz supaya bisa beli mobil dengan kredit"

Ust. Samsul: "paling ideal adalah skema 1, tapi gak ada lembaga bank yang mau, tidak boleh barang yang dibeli dijadikan jaminan"

"Kalo pengen tetep beli kredit?"

"Siapa yang mengharuskan beli? Kalo belum punya uang ya gak usah maksa beli, lihat perusahaan besar banyak yang gak beli mobil jadi aset yang nilainya turun, mereka semua sewa pada pihak ke tiga"

"Kalo buat mobil keluarga?!" Tanya saya lagi

"Mereka memaksa pakai istilah BELI mobil baru, padahal itu HUTANG mobil baru!"
Dan saya terdiam.. Hehe!

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa" -QS Al Baqoroh 276

Saya harus belajar banyak lagi, punya bisnis yang jauh dari riba, yang BERSIH biar diberkahi Allah. Kalo bisnis bersih pasti Allah yang akan menjaganya, dan kita tenang menjalankannya karena di akherat pengadilan itu ada..

Perjuangan kita membebaskan hutang riba bukanlah sebuah AIB, selama kita bertanggungjawab dan bersungguh-sungguh melunasinya, saling mendoakan dan saling mengingatkan. Dan ini akan jadi pelajaran yang muaaahaaaal!

Jangan sampai Allah yang sudah mengingatkan dengan RAIBnya harta-harta RIBA kita, lalu kita tetep cuek.. Dan Allah kirimkan azab lain yang lebih pedih..

"Astaghfirullah hal adzim" 
(Aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung)
Saptuari Sugiharto Full II

Jika cerita inspiratif ini bermanfaat, sila comment and share. Semoga Anda dilancarkan rezekinya biar bebas riba dan semakin banyak pengusaha yang tercerahkan.

Kamis, 15 Oktober 2015

Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 6 tahun yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).
Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘îitu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.
Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: “Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank” yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).
Dosa Riba
Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan” Orang-orang bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci berzina”. (HR Bukhari Muslim)
Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka semua.
“Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya  dari azab Allah” (HR. Al Hakim)
Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?
Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional
Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW:
“Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:
“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)
Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:
“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR. Nasa’i)
Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.
Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas:
1. Penerima Riba
Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal.
2. Pemberi Riba.
Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan riba.
3. Pencatat Riba
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.
4. Saksi Riba
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).
Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).
Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.
Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara’ untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).
Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa.
وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 02)
Wallahu’alam
sumber:https://web.facebook.com/sutarom.tarom

Jumat, 02 Oktober 2015

Hukum Bentuk Usaha Perseroan Terbatas(PT) Menurut Syariat Islam ???

Soal:

Jika Perseroan Terbatas (PT) merupakan perseroan yang batil, apakah semua PT statusnya sama, termasuk PT yang bersifat formalitas saja? Lalu bagaimana hukumnya bekerja atau bermuamalah dengan PT tersebut?

Jawab:
Memang betul, status perseroan saham (syarikah musahamah), atau di Indonesia dikenal dengan istilah Perseroan Terbatas (PT), di Malaysia dikenal dengan istilah Sendirian Berhad (Sdn), adalah perseroan yang batil. Kebatilan perseroan saham dan keharaman terlibat di dalamnya bisa dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, dari aspek akad. Lazimnya perseroan saham merupakan akadsyarikah. Faktanya, perseroan ini merupakan tindakan hukum untuk mengelola harta, yang dilakukan bersama-sama. Namun, masing-masing pesero yang terlibat di dalamnya tidak mendasarkan perseroannya pada kehendak bersama (irâdah musytarakah), melainkan kehendak sepihak (irâdah munfaridah) dari masing-masing pesero pada saat melakukan pembelian saham.1

Padahal, fakta syarikah di dalam Islam adalah akad antara dua orang atau lebih yang telah sepakat untuk melakukan usaha yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan (laba). Dengan kata lain, perseroan merupakan akad antara dua orang atau lebih. Karena ini merupakan akad, maka tidak boleh ada kesepakatan sepihak. Kesepakatan harus terjadi di antara kedua belah pihak atau lebih yang terlibat di dalam akad tersebut. Itu baru memenuhi kriteria akad.

Namun yang terjadi, perseroan saham ini tidak memenuhi kriteria akad, karena tidak adanya kehendak bersama (irâdah musytarakah) yang tercermin dalam ijâb-qabûl. Yang terjadi hanyalah kehendak sepihak (irâdah munfaridah) dari seseorang yang menjadi anggota perseroan; dia cukup membeli selembar atau dua lembar saham, tanpa memperhatikan apakah diterima atau tidak oleh pesero yang lain. Ini jelas berbeda dengan akad, yang tidak akan terjadi tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak.

Akad menurut syariah adalah terjadinya ijâb dan qabûl antara dua pihak, baik dua orang ataupun lebih. Dengan kata lain, di dalam akad tersebut harus ada dua pihak. Salah satu menyatakan ijâb, dengan memulai menyampaikan ucapannya, semisal, “Saya menikahi Anda,” atau, “Saya menjual kepada Anda,” atau, “Saya mengadakan perseroan dengan Anda,” ataupun kalimat yang lain. Kemudian yang lain menyatakan qabul, semisal, “Saya menerima,” atau, “Saya rela,” ataupun ungkapan lain yang serupa dengan itu.

Dalam perseroan saham, para pendirinya sepakat atas syarat-syarat perseroan. Namun, mereka tidak secara langsung terlibat dalam menyepakati syarat-syarat perseroan tersebut, tetapi sekadar saling mendelegasikan dan sama-sama sepakat terhadap syarat-syarat tersebut. Kemudian mereka membuat akte, yaitu corporation charter. Setelah itu, akte tersebut ditandatangani oleh setiap orang yang ingin bergabung. Penandatanganan akte itulah yang dianggap sebagai pernyataan ijâbdalam transaksi tersebut. Pada saat penandatanganan akte inilah mereka dianggap sebagai pendiri sekaligus pesero.

Dengan demikian, jelas sekali, dalam hal ini tidak ada dua pihak yang secara bersama-sama melakukan akad, dan di dalamnya juga tidak adaijab dan qabul. Yang ada hanyalah satu pihak yang memenuhi syarat-syarat perseroan, lalu dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, orang yang bersangkutan menjadi pesero. Jadi, perseroan saham ini bukan merupakan kesepakatan antara dua pihak, melainkan kesepakatan sepihak terhadap syarat tertentu.

Kehendak sepihak ini juga tampak setelah badan hukum tersebut melempar sahamnya ke pasar modal. Para investor, untuk menjadi anggota perseroan, hanya perlu membeli selembar atau beberapa lembar sahamnya. Mereka tidak perlu menunggu persetujuan dari pesero yang lain, termasuk apakah anggota perseroan yang lain setuju atau tidak. Ini membuktikan, bahwa untuk menjadi anggota perseroan tersebut, mereka tidak membutuhkan persetujuan yang lain, tetapi cukup kehendak sepihak mereka. Untuk fakta ini, lazimnya dilakukan oleh PT terbuka.2

Berdasarkan fakta tersebut, yakni keterikatan penanam saham, atau pendiri perseroan, atau penandatangan akte pada syarat-syarat yang termuat di dalamnya—tanpa memperhatikan apakah orang lain sepakat atau—tidak jelas merupakan bukti adanya “kehendak sepihak” (irâdah munfaridah). Dengan demikian, “akad” perseroan saham ini merupakan akad batil menurut syariah. Sebab, akad, menurut syariah, adalah keterkaitan ijab yang muncul dari salah seorang yang berakad denganqabul dari pihak lain, dalam bentuk yang disyariatkan dengan dampak yang tampak pada masalah yang diakadkan.

Kedua, dari aspek tasharruf. Perseroan adalah sebuah akad untuk mengelola modal, dan termasuk bentuk pengembangan harta/kepemilikan. Pengembangan harta dengan menggunakan perseroan (syarikah) ini merupakan bentuk pengembangan hak milik seseorang (tanmiyatu al-milk wa al-mal). Pengembangan hak milik ini merupakan salah satu bentuk tindakan yang sah menurut syariah.

Pengelolaan yang sah menurut syariah ini semuanya termasuk kategoritasharrufât qawliyah, yaitu tindakan hukum dalam bentuk ucapan, sepertiijab-qabul. Tindakan hukum seperti ini hanya mungkin lahir dari seorang manusia, bukan dari modal. Karena itu, pengembangan hak milik/harta melalui perseroan tentu harus berasal dari pemilik tindakan, yaitu badan manusianya, bukan dari modalnya. Dalam perseroan saham, justru modal berkembang dengan sendirinya tanpa adanya badan pesero, dan tanpa adanya pengelola yang memang memiliki hak untuk mengelola.

Perseroan ini malah menyerahkan pengelolaannya kepada modal. Sebab, perseroan saham ini hanyalah kumpulan modal, atau persekutuan modal/harta, yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan. Bahkan badan hukum inilah yang dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berhak melakukan tindakan hukum seperti penjualan, pembelian, produksi, pengaduan dan sebagainya.

Ketiga, dari aspek badan hukum. Tindakan-tindakan yang lahir dari perseroan dalam kedudukannya sebagai badan hukum (juristic personality) itu adalah batil menurut syariah. Pasalnya, tindakan-tindakan yang dilakukan seharusnya lahir dari manusia, atau badan manusia, yang memang memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum (syakhshiyyah qanuniyyah). Badan manusia ini jelas tidak pernah ada di dalam perseroan saham.

Harus pula dicatat, status badan hukum berbeda dengan badan manusia. Badan manusia terkena taklif hukum, dan bisa melakukan tindakan hukum, karena statusnya sebagai manusia. Sebaliknya, badan hukum bukanlah manusia, dan tidak bisa dihukumi sebagaimana badan manusia, sehingga bisa dikenai taklif, dan bisa melakukan tindakan hukum, seperti jual-beli, sewa-menyewa dan sebagainya.

Tidak bisa dikatakan, orang yang melakukan kerja dalam perseroan tersebut adalah para pekerja karena mereka adalah orang-orang yang dibayar oleh pemilik modal yang menanamkan sahamnya. Adapun yang mengelola dan mengambil tindakan adalah dewan direksi dan dewan komisaris. Sebab, mereka adalah para wakil pemilik (pemegang) saham.

Tentu tidak bisa dikatakan demikian. Sebab, seorang pesero ditunjuk sebagai pelaku dalam perseroan tersebut, dan akad perseroan atas dirinya sebagai pelaku. Karena itu, dia tidak boleh mewakilkan dan mengontrak orang lain untuk melakukan aktivitas perseroannya. Dia sendirilah yang harus melakukan aktivitas perseroan tersebut. Artinya, para pesero tidak boleh mengontrak para pekerja untuk menggantikannya, juga tidak boleh mewakilkannya kepada dewan direksi. Karena itu, tindakan yang dilakukan dewan direksi adalah tindakan yang batil menurut syariah.

Ringkasnya, perseroan saham—dalam pandangan Islam—pada dasarnya tidak pernah ada sebagai suatu perseroan, karena yang menjadi pesero hanyalah modal. Sama sekali tidak ada unsur badan pesero. Padahal adanya badan pesero ini merupakan syarat utama. Sebab, dengan adanya badan pesero, maka perseroan tersebut bisa didirikan sebagai sebuah perseroan yang sah secara syar’i. Tanpa adanya badan pesero, perseroan bentuk apa pun dipandang tidak pernah ada.

Menisbatkan tindakan hukum kepada badan hukum hukumnya jelas haram. Tindakan hukum (tasharruf) harus dinisbatkan kepada badan yang memiliki kemampuan untuk mengelola, yaitu manusia. Dengan demikian, perseroan saham adalah perseroan batil. Seluruh aktivitas dan tindakan hukum (tasharruf)-nya juga batil. Dari sini, maka perseroan saham merupakan perseroan yang batil. Karena statusnya batil, maka perseroan seperti ini tidak bisa diperbaiki, tetapi harus dibubarkan, dan dibentuk yang baru sama sekali dengan akad yang sah menurut Islam.

Semua harta yang diperoleh melalui perseroan saham ini juga termasuk harta yang batil, karena diperoleh melalui pengelolaan yang batil. Karena itu, harta tersebut tidak halal untuk dimiliki. Ini terkait dengan perseroan saham.

Mengenai Perseroan Terbatas yang bersifat formalitas, yaitu perseroan yang dibentuk sesuai dengan ketentuan syarikah di dalam Islam, baik berbentuk syarikah Mudharabah, ‘Inan, Wujud, Abdan dan Mufawadhah, namun secara formal didaftarkan sebagai badan hukum berbentuk PT, maka statusnya berbeda dengan hukum perseroan saham di atas. Pendaftaran dalam bentuk PT ini hanya formalitas guna mendapatkan izin usaha, maka status hukumnya masuk dalam kategori rukhshah, dan dibolehkan, sebagaimana dalam hadits Nabi saw.:

"Apa yang mereka dipaksa (untuk melakukannya)" (HR Ibn Hibban)
Karena status PT yang terakhir ini termasuk dalam kategori di-ma’fu, maka status bekerja atau bermuamalah dengan PT ini pun dibolehkan.

Patut diketahui, keharaman perseroan saham sebagaimana dijelaskan di atas hanya berlaku apabila pemiliknya beragama Islam. Jika pemiliknya non-Muslim, maka dibolehkan. Sebab, status hukum haram tersebut mengikat kaum Muslim, sementara bagi non-Muslim tidak. WalLahu a’lam.[]
Catatan kaki:

1 Kehendak sepihak (iradah munfaridah) merupakan bentuk tasharruf(tindakan hukum), baik secara lisan (qawli) maupun perbuatan (fi’li). Harus dicatat, tidak semua tindakan hukum ini bisa serta-merta menjadi akad. Karena terbentuknya akad mensyaratkan adanya kehendak bersama (iradah musytarakah), antara dua pihak yang terlibat dalam akad, yang ditandai dengan adanya ijab-qabul. Contoh tindakan hukum sepihak yang sah, tetapi tidak berbentuk akad, adalah wasiat. Orang yang mewasiatkan hartanya kepada orang lain, tidak memerlukan persetujuan ahli waris maupun pihak yang menerima wasiat. Sebab, tindakan hukum ini tidak perlu persetujuan, melainkan cukup kehendak sepihak pemberi wasiat. Sebagaimana hadiah, juga bisa disebut sebagai tindakan hukum sepihak (iradah munfaridah). Ini berbeda dengan tindakan hukum yang melibatkan kehendak bersama (iradah musytarakah), seperti jual-beli, sewa-menyewa, hutang-piutang dan sebagainya. Tindakan ini tidak bisa dilakukan sepihak, tetapi harus dilakukan dengan kehendak bersama. Karena itu, tindakan hukum ini disebut akad, sedangkan yang pertama tidak.

2 Berdasarkan kegiatannya, maka perseroan terbatas tersebut bisa diklasifikasikan menjadi:

a- PT Terbuka: Perseroan terbatas yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal (go public). Setiap orang berhak untuk membeli saham perusahaan tersebut.

b- PT Tertutup: Perseroan terbatas yang modalnya berasal dari kalangan tertentu, misalnya pemegang sahamnya hanya dari kerabat dan keluarga saja atau kalangan terbatas dan tidak dijual kepada umum.

c- PT Kosong: Perseroan yang sudah ada izin usaha dan izin lainnya tetapi tidak ada kegiatannya.

(www.konsultasi.wordpress.com)

Sumber : Majalah Al Waie edisi November 2011

Hukum Bentuk Usaha Koprasi Syariah menurut Sayriat Islam

Tanya:
Asslmwrwb. Sy suryatin di Pct, bgmn hukumnya menabung di koperasi serba usaha syariah /BMT ustadz?kt mendpt tambahan yg namanya bagi hasil, apakah itu halal? Terimakasih [+6287758651xxx]

Jawab:

‘alaikumussalam wr wb

Koperasi atau cooperation atau  adalah salah satu bentuk badan hukum yang muncul, dikenal, diakui dan dipraktikkan secara implementatif dalam sistem perekonomian kapitalisme, sama seperti perseroan terbatas (PT) alias limited corporation alias . Artinya, koperasi tidak pernah dikenal dalam Islam dan memang bukan bagian dari syariah Islamiyah serta belum pernah dipraktikkan sepanjang kehidupan Islami sejak abad ke-6 masehi hingga tanggal 3 Maret 1924 (lebih dari 13 abad).

Namun sejak sirnanya kehidupan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah lalu berganti secara total dengan kehidupan berbasis sekularisme yakni demokrasi dalam pemerintahan dan kapitalisme dalam perekonomian, maka sejak itu juga mulai bermunculan satu per satu badan hukum kapitalistik antara lain adalah koperasi.

Tragisnya, seiring dengan semakin bodohnya umat Islam untuk membedakan mana Islam dan mana bukan Islam (kekufuran) maka semakin memberikan keleluasaan kepada kaum kufar melalui antek-antek dan hamba sahaya mereka dari kalangan kaum muslim sendiri untuk mengemas berbagai konsepsi yang ada dalam ideologi mereka dengan menempelkan label Islam, sehingga saat ini terwujud asuransi syariah, perbankan syariah, lembaga pembiayaan syariah, pegadaian syariah dan termasuk koperasi serba usaha syariah dengan julukan lain BMT (baitul mal wattamwil).

Dengan demikian, koperasi, PT dan lainnya adalah haram dalam pandangan Islam karena bentuk muamalah yang tidak pernah dikenal dalam Islam alias bukan bagian dari syariah Islamiyah. Lebih dari itu, keharaman koperasi dan lainnya tersebut juga nampak dari penyimpangan realitasnya masing-masing dari ketentuan rukun aqad dalam Islam.

Muamalah dalam Islam wajib diawali dengan aqad dan wajib memenuhi tiga rukun aqad supaya muamalahnya sah. Tiga rukun aqad tersebut adalah : (a) dua belah pihak yang beraqad atau , (b) perkara yang dijadikan objek dalam aqad atau  dan (c) ijab – qabul atau Rumusan rukun aqad ini ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
"Allah berkata : ada tiga manusia yang Aku pasti menentang mereka pada hari qiyamah : seseorang yang memberikan sesuatu atas nama Aku lalu mengambilnya lagi, seseorang yang menjual manusia merdeka (bukan hamba sahaya) lalu dia makan harganya dan seseorang yang mempekerjakan seorang buruh lalu si buruh telah memenuhi kewajibannya namun dia tidak memberikan upah kepadanya (si buruh) (HR Bukhari)"

"Jika kamu mempekerjakan seorang buruh maka beritahukanlah kepadanya upahnya" (HR Nasa’i)

Apabila rukun aqad dalam Islam tersebut dipetakan kepada realitas koperasi (juga lainnya), maka koperasi adalah haram karena tidak memenuhi rukun aqad yang pertama yaitu dua belah pihak yang terlibat dalam aqad.  Koperasi menempatkan rapat anggota sebagai pemegang wewenang tertinggi, sehingga apa pun keputusan rapat anggota adalah wajib dilaksanakan oleh pengurus koperasi. Di sinilah persoalannya yakni apa kedudukan rapat anggota itu, sebagai pemilik koperasi  ataukah pemodal ataukah majikan Hal yang sama juga berkenaan dengan pengurus koperasi, yakni apakah sebagai pengelola  ataukah sebagai pekerja
 Pada realitas koperasi sama sekali tidak dapat dipastikan sebagai apa kedudukan rapat anggota maupun pengurus koperasi, sehingga inilah yang menjadikan aqad koperasi tidak sah yang berakibat muamalah koperasi adalah muamalah yang bathilah alias haram dilanjutkan. Jika dipaksakan dilanjutkan, maka semua aktivitas muamalah yang diselenggarakan dalam koperasi adalah tidak sah walaupun itu sesuai dengan ketentuan syariah Islamiyah, misalnya syirkah mudharabah alias kerjasama bagi hasil. [Ust. Ir. Abdul Halim]

sumber:mediaislamnet.com

Rabu, 02 September 2015

Hukum meminjam uang di bank syariah

Sahabat  Tiar Solution, kali ini saya akan membagikan sebuah pembahasan dan diskusi yang menarik tentang Fiqih Pengusaha( bisnis) yang sangat lengkap, sistematis, dan mudah untuk di pahami khususnya kepada kalian yang masih bingung tentang kehalalan sebagian produk-produk yang di keluarkan oleh lembaga yang mengatasnamakan sesuai syariat islam(Syariah) Seperti Bank Syariah atau Penggadaaian Syariah dan sejenisnya, namun dipostingan ini akan di fokuskan pada Bank Syariah namun konsep ini bisa digunakan untuk hal yang serupa. Semoga dengan membaca penjelasan yang begitu lengkap ini  Allah SWT memberikan hidayah kepada kita semua sehingga semua harta yang kita pergunakan menjadi lebih jelas kehalalannya dan kebarokahannya serta tidak menjadi suatu hal yang dapat menahan setiap doa-doa yang  kita panjatkan kepada Allah SWT.( Oh iya sebelumnya mohon maaf kami tidak menampilkan huruf arabnya hanya artinya saja dikarenakan kendala teknis yang tidak mendukung)

Diskusi Perbankan Syariah Antara Dr. Muhammad Arifin Badri (Pembina KPMI) dengan Ustadz Praktisi Perbankan Syariah (Bag. 1)
9 Juni 2011 pukul 14:59


Saudara-saudara sekalian, berikut ini adalah diskusi antara ustadz Muhammad Arifin Badri yang merupakan pembina milis Pengusaha Muslim dengan seorang ustadz praktisi perbankan syariah (selanjutnya disingkat UPPS).
Sebelum saudara membaca diskusi ini, ada baiknya kami jelaskan latar belakang terjadinya diskusi. Diskusi bermula ketika UPPS tersebut mengkritisi jawaban ustadz Muhammad Arifin Badri terhadap pertanyaan tentang hukum meminjam uang di bank syariah. Berikut ini kami sertakan Tanya Jawab tersebut:
Pertanyaan:
Assalamualaikum
Saya mau tanya, saya punya rumah sudah saatnya perlu diperbaiki/renovasi, tetapi saya belum mempunyai uang yang cukup untuk memperbaikinya. Kalau saya meminjam uang dari bank (seperti Bank Syariah Mandiri, yang notabene berbasiskan agama Islam, maaf terpaksa menyebutkan namanya) bagaimana?
Kalau di bank tersebut, tidak menyebutnya dengan bunga, tetapi dengan istilah lainnya. Apakah itu termasuk haram?
Jazakumullah khairan katsiran.

Wassalamualaikum.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Selama akadnya adalah hutang-piutang, maka setiap keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak adalah riba dan itu diharamkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba."
 Ucapan Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhuma. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik." (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/334)
Adapun perubahan nama atau sebutan itu tidak dapat merubah hukum, bahkan itu semakin menjadikan dosanya berlipat ganda, dosa memakan riba dan dosa memanipulasi syari'at Allah.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal;-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Untuk mengetahui apakah akad yang ditawarkan oleh bank adalah akad hutang piutang atau akad istisna' atau murabahah, anda dapat mengetahuinya dengan menjawab dua pertanyaan berikut:

    Siapakah yang mendatangkan barang kepada saudara? Bila bank mendatangkan barang, maka itu adalah perniagaan biasa, akan tetapi bila saudara yang mendatangkan barang, maka itu berarti akad hutang piutang.
    Kepada siapakah saudara mengajukan komplain bila terjadi kerusakan atau cacat pada barang/pekerjaan yang anda peroleh dengan akad itu? Bila bank tidak mau tanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang anda peroleh melalui akad itu, maka akad yang terjadi adalah hutang-piutang. Akan tetapi bila bank bertanggung jawab atas kerusakan pada barang yang anda peroleh melalui akad itu, berarti akad itu adalah akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.
Perlu diketahui, bahwa dalam syari'at perniagaan dalam Islam yang dibenarkan untuk mengambil keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallalllahu 'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
Wallahu a'alam bisshowab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M

Berikut ini komentar UPPS terhadap jawaban ustadz Muhammad Arifin Badri di atas (diapit dengan tanda //), dan pada bagian bawah setiap komentar UPPS kami sertakan tanggapan ustadz Muhammad Arifin Badri.
[DIALOG 1]
[Komentar UPPS]
//Pertama, akad yang dijalankan pada bank syariah untuk pengadaan rumah atau konsumtif lainnya adalah jual beli secara murabahah dan bukan hutang piutang (qardh), dengan demikian tidak berlaku hukum qardh, yang jika ada added value dikategorikan sebagai riba atau bunga yang haram. Added value yang timbul adalah profit atau margin dari jual beli barang dan bukan jual beli uang.//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sangat berbahagia hati ini mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan UPPS, salah seorang ustadz Dewan Syariah Nasional. Semoga saya bisa menimba ilmu dan pengalaman yang banyak dari beliau.
Menanggapai komentar Anda di atas, ada beberapa hal yang perlu didudukkan dengan jelas, agar kita tidak salah berpendapat:
1. Bila akad yang dijalin antara Bank Syari'ah dengan nasabah (pemilik rumah yang hendak merenovasi rumahnya) adalah akad murabahah seperti yang Anda sampaikan, maka ini bertentangan dengan komentar kedua Anda di bawah (silakan lihat bagian Diskusi 2 –ed); Anda mengakui bahwa bank adalah lembaga intermediary alias penghubung. Berdasarkan pengakuan Anda di bawah berarti status bank hanyalah sebagai mediator alias calo atau perantara. Bila demikian adanya, maka seharusnya yang diperoleh oleh bank adalah upah/ujrah, dan bukan ar ribhu (keuntungan) yang dihitung dalam prosentasi dari keuntungan proyek. Saya yakin Anda sepakat dengan saya bahwa ujrah/upah berbeda dengan bagi hasil. Bila bank bersikukuh untuk tetap mengambil bagi hasil dan bukan ujrah, maka sikap ini menjadikan akad yang ia jalankan ternodai oleh gharar dan itu diharamkan:
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan (gharar)." (Riwayat Muslim)
2. Dan kalau Anda tetap menganggap bahwa akad yang dijalin antara bank dengan pemakai jasa yaitu pemilik rumah adalah akad murabahah, maka berarti bank telah menjual barang yang belum ia miliki atau belum sepenuhnya dimiliki, karena barang masih berada di tempat dan tanggung jawab penjual pertama, dan itu nyata-nyata diharamkan dalam banyak hadits. Diantaranya pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  berikut:
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad 3/401, 403, Abu Dawud, no: 3503, An Nasa'i 2/225, At Tirmizy no: 1232, Ibnu Majah no: 2187, As Syafi'i no: 1249, Ibnul Jarud no: 602, Ad Daraquthny 3/15, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem 8/519.)
3. Dan bila akad yang terjadi antara bank dengan pemilik rumah adalah gabungan antara murabahah dengan ijarah (jual jasa sebagai perantara) maka itu namanya manipulasi syari'at, dan ini lebih besar dosanya.
"Janganlah kalian melakukan apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian melanggar hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit rekayasa." (Riwayat Ibnu Batthoh dengan sanad yang dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan lainnya). Dan pada hadits lain dikisahkan salah satu bentuk perilaku orang-orang yahudi yang mengakali hukum Allah dengan cara-cara yang membuktikan akan buruknya keimanan dan akal mereka.
Dari sahabat Jabir radhiallahu 'anhu bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), di saat beliau masih berada di kota Makkah, bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa jalla dan Rasul-Nya, telah mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)." Lalu dikatakan kepada beliau: "Ya, Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak bangkai, karena ia digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri) kulit, juga digunakan untuk bahan bakar lentera?" Beliaupun menjawab: "Tidak, itu (menjual lemak bangkai) adalah haram." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
//Kedua, bank adalah lembaga intermediary dan bukan sektor real, sehingga pengadaan barang tidak dapat terlepas dari pihak ketiga (dealer, supplier, atau developer). Kepastian kepemilikan atas barang yang dijual oleh bank syariah adalah dengan mekanisme wakalah, wujud teknisnya purchasing order (PO). Hal demikian sudah diapprove oleh DSN MUI.//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Bila benar ini yang terjadi maka praktek inipun tidak selamat, karena bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan dan masih berada dalam tanggung jawab (dhoman) penjual pertama. Dan ini diharamkan oleh banyak ulama, diantaranya oleh ulama yang bermazhab Syafi'i yang merupakan mazhab umat Islam di negeri kita tercinta. Saya yakin Anda mengetahui perselisihan ulama' seputar masalah:
Pengharaman ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
Dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya." Ibnu 'Abbas berkata: "Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun 'alaih)
Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
Dari sahabat Ibnu Umar, ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut), tiba-tiba ada seseorang dari belakangku  yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: "Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing." (HR Abu Dawud dan Al Hakim). (Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqiq. Baca Nasbu ar-Rayah 4/43 , dan at-Tahqiq 2/181).
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diserahterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini: Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab: "Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (Riwayat Bukhari dan Muslim)



Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja." (Fathu al-Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349)
Adapun apa yang Anda sebutkan bahwa kepastian kepemilikan ditempuh dengan mekanisme wakalah, maka itu menurut syari'at belum cukup, sebagaimana ditegaskan pada hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Berdasarkan kedua hadits di atas dan juga lainnya, para ulama syari'at, melarang kita untuk menjual kembali barang yang kita beli sebelum barang itu berpindah dari tempat penjual pertama dan keluar dari dhomannya (tanggung jawabnya).
Karenanya, bila terjadi komplain terhadap barang yang dibeli, konsumen tidak mengajukan komplain ke bank, akan tetapi ke pihak developer, atau supplier, atau penjual pertama, sedangkan pihak bank terlepas dari komplain itu. Sebagaimana apabila pada tengah-tengah pengadaan barang kemudian  terjadi musibah, pihak bank juga tidak mau tanggung jawab, dan sepenuhnya tanggung jawab dibebankan kepada pihak ke-3 yang berperan sebagai penyedia barang, baik itu developer atau supplier atau lainnya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya dan belum sepenuhnya masuk ke dalam tanggung jawabnya. Padahal diantara prinsip perniagaan dalam islam yang disepakati oleh seluruh ulama' menegaskan:
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.”
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut
"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan."
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)

[DIALOG 3]
[Komentar Ustadz UPPS]
//Ketiga, fatwa yang tidak keluar dan tidak didukung real case studi di lapangan akan menghasilkan fatwa yang keliru atau syadz, dengan demikian kita harapkan para ustadz atau yang sejenis kalau belum memahami hakekat operasional bank, jangan sekali kali melakukan "penilaian dini" yg berdampak fatal dan merusak kafa'ah ilmiyah.//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Sebaliknya juga demikian, fakta yang tidak sesuai dengan fatwa juga salah. Yang saya maksud, adanya fatwa halal belum cukup untuk menjadi jaminan halal atau tidaknya suatu transaksi, sebab bisa saja fatwanya benar akan tetapi aplikasi di lapangan -karena berbagai alasan- menyeleweng dari fatwa tersebut. Terlebih-lebih fatwa DSN MUI tidak sampai membahas pada teknis aplikasinya di lapangan, padahal bisa saja pada tahap aplikasi terdapat penyelewengan.
Dan kalau tidak salah fatwa DSN MUI jumlahnya lebih sedikit dibanding jenis transaksi dan akad yang dijalankan oleh perbankan syariat yang ada (mohon koreksi).
Dan pada kesempatan ini, saya juga perlu mengingatkan saudara-saudaraku para praktisi perbankan syari'at dengan petuah Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu berikut:
"Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba." (Ucapan beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy dengan teks yang sedikit berbeda: "Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah memiliki bekal ilmu agama." (Riwayat ini dihasankan oleh Al Albany)
Imam Al Qurthuby Al Maliky menjelaskan: "Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya. Hal ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam." (Ahkaamul Qur'an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky 5/29)
Menyandingkan antara ilmu syariat dengan ilmu tentang realiti ini begitu penting, karena seorang mufti yang tidak paham akan realita permasalahan yang hendak ia hukumi sangat dimungkinkan akan salah dalam berfatwa. Dan Seorang praktisi yang kurang menguasai ilmu agama, sangat dimungkinkan tersesat ketika hendak menerapkan fatwa, terlebih-lebih realita suatu akad atau kejadian menurut ulama terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama:
Realita yang memiliki pengaruh dalam  penentuan hukum syariat.
Bagian kedua:
Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syar'i.
Realita jenis kedua ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan (??????? ???????). Dan realita jenis kedua ini termasuk dalam "ilmu yang bila diketahui tidak ada manfaatnya, dan bila tidak diketahui juga tidak merugikan."
Contoh nyata dari kedua jenis realita di atas:
A. Berlakunya hukum riba pada emas dan perak (dinar dan dirham) tidak ada kaitannya dengan warna dan bentuk keduanya. Tidak setiap yang berwarna kuning atau putih berkilau berlaku padanya hukum riba, walaupun pada kenyataanya emas berwarna kuning, dan perak berwarna putih berkilau.
B.Diharamkannya khomer, apakah hanya karena ia terbuat dari jus anggur, sehingga minuman yang terbuat dari bahan-bahan lain tidak haram, walaupun memabukkan?
Minuman yang diolah dari bahan tebu atau lainnya, diramu dengan teknologi tinggi, disterilisasi, dan dikemas dengan kemasan yang bagus lagi menarik, kemudian diminum di tempat-tempat yang terhormat, bukan di bar akan tetapi di masjid (misalnya), apakah tidak dikatakan khamr? Tentu orang yang memahami hukum syariat tentang keharaman khamr tidak akan berubah fatwanya hanya karena adanya perubahan dalam hal-hal ini. Syariat pengharaman khamr bukan karena bahan bakunya, akan tetapi sifat memabukkan yang ada pada minuman itu. Dengan demikian, setiap yang memabukkan dalam syariat disebut khamr, dan setiap yang memabukkan maka haram hukumnya.
"Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." (HR Muslim)
Kaitannya dengan permasalahan ini: Dalam fatwa, seorang ahli fiqih tidak diharuskan mengetahui seluk beluk setiap masalah hingga sedetail mungkin, akan tetapi ia cukup mengetahui seluk beluk permasalahan yang mempengaruhi hukum dan dipertimbangkan dalam syariat.
Dan dalam kasus yang menjadi tema pembahasan yaitu akad murabahah dengan merenovasi rumah, atau pengadaan barang konsumtif lainnya telah jelas terdapat unsur-unsur yang terlarang dalam syariat, yaitu gharar atau riba, sebagaimana dijelaskan pada tanggapan saya di atas. Dan saya yakin Anda mengetahui bahwa gharar atau riba adalah bagian dari keempat yang menjadikan suatu akad terlarang dalam syariat. Keempat hal itu ialah:
1. Barang yang menjadi obyek akad adalah barang yang diharamkan.
2. Adanya faktor riba
3. Adanya faktor ketidak jelasan (gharar),
4. Adanya persyaratan yang akan mengakibatkan terjadinya praktek riba atau ketidak jelasan.

[DIALOG 4]
[Komentar UPPS]
//Keempat, fatwa tentang praktek bank syariah dengan akad jual beli secara murabahah sudah diterbitkan bukan hanya level nasional akan tetapi internasional (AAOIFI dan Majma al Fiqh al Islamy OKI)//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Adanya fatwa tentang halalnya murabahah bukanlah hal yang baru. Akan tetapi poin penting yang perlu diingat adalah pemahaman dan aplikasi akad murabahah yang ada di perbankan syariah yang ada. Apakah sesuai dengan murabahah yang dihalalkan oleh para ulama atau hanya sekedar persamaan nama, akan tetapi hakekatnya berbeda?
Saya yakin ustadz mengetahui bahwa istilah murabahah di sini tidaklah sama dengan istilah murabahah yang dimaksudkan oleh para ulama zaman dahulu, atau yang oleh masyakarat sekarang disebut dengan istilah fiqih klasik. Menurut fikih ulama zaman dahulu, murabah ialah seorang pedagang menjual barang yang telah ia miliki kepada konsumen dengan menyebutkan modal pembelian yang ditambah dengan keuntungan dalam persentase atau nominal tertentu.
Agar para pembaca dapat mengetahui perbedaan fatwa Majma' Al Fiqh Al Islami di bawah organisasi OKI, dari aplikasi murabahah yang dijalankan oleh perbankan syariat di negeri kita, berikut saya nukilkan fatwa mereka:
Dengan  Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada sayyidina Muhammad, penghulu para nabi, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Keputusan No: 40- 41(2/5 & 3/5)
Perihal: Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan.
Sesungguhnya rapat pleno Majma' Al Fiqih Al Islami Ad Dauly yang kelima yang diadakan di Kuwait sejak tanggal 1 - 6 Jumadil Ula 1409 H yang bertepatan 10 – 15 Desember 1988 M.
Setelah mengkaji lembar kerja yang diajukan oleh anggota Majma' Al Fiqih dan juga yang ditulis oleh para pakar tentang dua permasalahan: Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan, serta setelah mendengarkan berbagai diskusi anggota Majma' tentang keduanya, maka Majma' Al Fiqih memutuskan:
Pertama:
Akad jual-beli murabahah dengan pemesan bila dilakukan pada barang yang telah sepenuhnya dimiliki oleh penjual penerima pesanan, dan sepenuhnya telah diserahterimakan secara syariat, maka itu adalah akad yang dibolehkan.
Dengan catatan:
    Penjual penerima pesanan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi sebelum barang diserahkan kepada pemesan.
    Bertanggung jawab atas resiko komplain/pengembalian barang karena ada cacat (khafi) yang tidak diketahui oleh penjual pertama/penyedia barang atau alasan serupa yang membolehkan pemesan untuk mengembalikan barang.
    Memenuhi berbagai persyaratan jual-beli.
    Terbebas dari berbagai faktor yang menjadikan akad jual-beli terlarang.
Kedua: Janji/komitmen sepihak dari pemesan atau penjual secara agama bersifat mengikat pihak yang berjanji, kecuali bila ada uzur. Dan janji itu juga mengikat secara peradilan bila dikaitkan dengan suatu sebab sehingga pihak yang dijanjikan terlanjur melakukan pembiayaan dikarenakan janji tersebut. Aplikasi dari sifat mengikat tersebut pada keadaan semacam ini diwujudkan dengan memenuhi janji, baik dengan mengganti kerugian yang benar-benar terjadi akibat dari tidak dipenuhinya janji pembelian atau penjualan yang tanpa alasan.
Ketiga: Janji/Komitmen dari kedua belah pihak (bukan sepihak) dibolehkan dalam akad murabahah dengan ketentuan harus ada hak khiyar (hak membatalkan akad) bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Dengan demikian, bila pada akad tidak ada hak khiyar (membatalkan akad) sama sekali, maka akad ini tidak dibenarkan; karena janji yang sepenuhnya mengikat (tanpa ada hak khiyar) pada akad murabahah seperti ini serupa dengan akad jual beli biasa. Pada keadaan semacam ini dipersyaratkan agar penjual terlebih dahulu telah memiliki barang yang diperjual-belikan, agar tidak melanggar larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya.
Majma' Al Fiqh Al Islamy merekomendasikan berikut:
Berdasarkan fakta yang didapatkan di lapangan bahwa kebanyakan kegiatan perbankan Islam mengarah pada pembiayaan melalui skema murabahah dengan pemesan.
Pertama: Hendaknya gerak seluruh perbankan Islam mencakup seluruh metode pengelolaan perekonomian, terlebih-lebih dengan mendirikan berbagai proyek industri atau perdagangan, baik mandiri atau melalui  menanamkan modal, atau menjalin akad mudharabah (bagi hasil) dengan pihak-pihak lain.
Kedua: Hendaknya diadakan studi banding seputar aplikasi akad murabahah dengan pemesan yang diterapkan oleh perbankan Islam, guna meletakkan pedoman-pedoman yang jelas sehingga pada tahapan prakteknya tidak terjerumus ke dalam kesalahan, serta memudahkan bagi praktisi perbankan dalam mengindahkan berbagai hukum syariat secara umum atau yang berlaku khusus pada akad murabah dengan pemesan. Wallahu a'lam. (Disadur dari majalah Majma' Al Fiqh Al Islami edisi 5, jilid 2 hal: 754 & 965)
***
Dengan demikian, jelaslah bahwa Majma' Al Fiqhi Al Islami TIDAK MENGHALALKAN AKAD MURABAHAH SECARA MUTLAK. Akad murabahah yang dihalalkan adalah yang memenuhi beberapa persyaratan yang telah dijelaskan pada keputusan di atas. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dirisaukan pada tulisan saya, karena yang saya permasalahkan bukan hukum asal akad murabahah, akan tetapi aplikasinya yang ada di perbankan syariat di negeri kita. 
Ada satu hal yang perlu dicatat di sini: Sudah saatnya bagi setiap muslim di negeri kita untuk bersikap kritis, sehingga tidak cukup dengan adanya fatwa halal atau haram terhadap suatu hal, akan tetapi terus mengawal fatwa tersebut hingga pada tahap aplikasinya di lapangan atau masyarakat. Wallahu a'lam bisshowab.
-bersambung insya Allah-
***
Artikel www.pengusahamuslim.com

Sumber: http://pengusahamuslim.com

Minggu, 22 Maret 2015

Hukum Jualan Sistem Dropshipping

Assalamu’alaikum

Mau tanya, apa hukum jualan menggunakan sistem dropship? Yaitu saya menjual barang yang belum ada pada saya ke si A. Begitu si A transfer, saya membeli dari si B dan si B tersebut mengirimkan barangnya ke si A menggunakan nama saya sebagai pengirim. Apakah jual beli seperti ini halal? mengingat ada hadis yang menyatakan

Diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkannya dari pasar? Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

“Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!” (HR. Abu Daud. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani).

Mohon penjelasannya.

Dari: Ikhwan Nurudin

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,

Patutlah bersyukur bila Anda berminat menjadi pengusaha. Segera upayakan agar keinginan itu benar-benar terwujud. Jumlah pengusaha di negeri ini masih relatif sedikit. Data pada Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah menyebutkan, Indonesia masih membutuhkan sekitar 4,75 juta orang wirausahawan. Berdasarkan pendekatan usaha formal, jumlah wirausahawan yang ada baru sekitar 592.467 orang. Jadi, masih dibutuhkan sekitar 4,15 juta orang lagi. Salah satu peluang bisnis yang bisa dikerjakan para wirausahawan adalah dropshipping.

Dropshipping

Hadirnya sistem dropshipping bak hembusan angin surga bagi banyak orang untuk dapat mewujudkan impian menjadi penguaha sukses. Betapa tidak. Dengan sistem dropshipping, Anda dapat menjual berbagai produk ke konsumen, tanpa butuh modal atau berbagai piranti keras lainnya. Yang dibutuhkan hanyalah foto-foto produk yang berasalkan dari supplier/toko. Anda dapat menjalankan usaha sistem ini walau tanpa membeli barang terlebih dahulu, dan ajaibnya, dropshipper dapat menjualnya ke konsumen dengan harga yang dia tentukan sendiri.

Dalam sistem dropshipping, konsumen terlebih dahulu membayar secara tunai atau transfer ke rekening dropshipper. Selanjutnya dropshipper membayar ke supplier sesuai harga beli dropshipper disertai ongkos kirim barang ke alamat konsumen. Dropshipper berkewajiban menyerahkan data konsumen, yakni berupa nama, alamat, dan nomor telepon kepada supplier. Bila semua prosedur terebut dipenuhi, supplier kemudian mengirimkan barang ke konsumen. Namun perlu dicatatkan, walau supplier yang mengirimkan barang, tetapi nama dropshipper-lah yang dicantumkan sebagai pengirim barang. Pada transaksi ini, dropshipper nyaris tidak megang barang yang dia jual. Dengan demikian, konsumen tidak mengetahui bahwa sejatinya ia membeli barang dari supplier (pihak kedua), dan bukan dari dropshipper (pihak pertama).

Keuntungan Sistem Dropshipping

Beberapa keuntungan sistem dropshipping antara lain:

1. Dropshipper mendapat untung atau fee atas jasanya memasarkan barang milik supplier.

2. Tidak membutuhkan modal besar untuk menjalankan sistem ini.

3. Sebagai dropshipper, Anda tidak perlu menyediakan kantor dan gudang barang.

4. Walau tanpa berbekal pendidikan tinggi, asalkan cakap berselancar di dunia maya, Anda dapat menjalankan sistem ini.

5. Anda terbebas dari beban pengemasan dan distribusi produk.

6. Sistem ini tidak kenal batas waktu atau ruang, alias Anda dapat menjalankan usaha ini kapan pun dan di mana pun Anda berada.

Hukum Sistem Dropshipping

Jangan hanya sebatas memikirkan kemudahan atau besarnya keuntungan. Status halal dan haram setiap jenis usaha yang hendak Anda jalankan harusnya menempati urutan pertama dari semua pertimbangan. Sikap ini selaras dengan doa Anda kepada Allah ‘Azza wa Jalla,

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rezeki-Mu yang halal sehingga aku tidak membutuhkan kepada hal-hal yang Engkau haramkan. Dan jadikanlah aku merasa puas dengan kemurahan-Mu sehingga aku tidak mengharapkan kemurahan selain kemurahan-Mu.”

Dan untuk mengetahui status hukum halal-haram suatu perniagaan, Anda harus melihat tingkat keselarasan sistemnya dengan prinsip-prinsip dasar perniagaan dalam syariat. Bila perniagaan selaras dengan prinsip syariat, halal untuk Anda jalankan. Namun bila terbukti menyeleweng dari salah satu prinsip atau bahkan lebih, sepantasnya Anda mewaspadainya. Berikut beberapa prinsip syariat dalam perniagaan sistem dropshipping yang perlu Anda cermati.

Prinsip Pertama: Kejujuran

Berharap mendapat keuntungan dari perniagaan bukan berarti menghalalkan dusta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa kesempatan menekankan pentingnya arti kejujuran dalam perniagaan, di antara melalui sabdanya, “Kedua orang yang terlibat transaksi jual-beli, selama belum berpisah, memiliki hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akadnya. Bila keduanya berlaku jujur dan transparan, maka akad jual-beli mereka diberkahi. Namun bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya keberkahan penjualannya dihapuskan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Prinsip Kedua: Jangan Menjual Barang yang tidak Anda Miliki

Islam sangat menekankan kehormatan harta kekayaan kepada para penganutnya. Karena itu Islam mengharamkan berbagai bentuk tindakan merampas atau pemanfaatan harta orang lain tanpa izin atau kerelaan darinya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’ 29).

“Tidak halal harta orang Muslim, kecuali atas dasar kerelaan jiwa darinya.” (HR. Ahmad, dan lainnya). Begitu besar penekanan Islam tentang hal ini, sehingga Islam menutup segala celah yang dapat menjerumuskan umat Islam kepada praktik memakan harta saudaranya tanpa alasan yang dibenarkan.

Prinsip Ketiga: Hindari Riba dan Berbagai Celahnya

Sejarah umat manusia telah membuktikan bahwa praktik riba senantiasa mendatangkan kehancuran tatanan ekonomi masyarakat. Wajar bila Islam mengharamkan praktik riba dan berbagai praktik niaga yang dapat menjadi celah terjadinya praktik riba. Di antara celah riba yang telah ditutup dalam Islam adalah dalam hal menjual kembali barang yang telah Anda beli namun secara fisik belum sepenuhnya Anda terima dari penjual.

Belum sepenuhnya Anda terima bisa jadi:

(1) Anda masih satu majelis dengan penjual, atau

(2) Fisik barang belum Anda terima, walaupun Anda telah berpisah tempat dengan penjual.

Pada kedua kondisi tersebut Anda belum dibenarkan menjual kembali barang yang telah Anda beli. Hal ini mengingat kedua kondisi tersebut menyisakan celah terjadinya praktik riba. Sahabat Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali setiap barang di tempat barang itu dibeli, hingga barang itu dipindahkan oleh para pembeli ke tempat mereka masing-masing.” (HR. Abu dawud dan Al-Hakim)

Dalam hadis lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar telah menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma ditanya lebih lanjut tentang alasan larangan tersebut menyatakan, “Yang demikian itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (sekadar kedok belaka).” (Muttafaqun ‘alaih)

Sistem dropshipping pada praktiknya bisa melanggar ketiga prinsip terebut, atau salah satunya, sehingga keluar dari aturan syariat alias haram. Seorang dropshipper bisa aja mengaku sebagai pemiliki barang atau sebagai agen. Padahal kenyataannya tidak demikian. Karena dusta, konsumen menduga ia mendapatkan barang dengan harga murah dan terbebas dari praktik percaloan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Andai ia menyadari sedang berhadapan dengan seorang agen atau pihak kedua, bisa saja ia mengurungkan pembeliannya.

Pelanggaran bisa juga berupa dropshipper menawarkan, lalu menjual barang yang belum ia terima. Ini walaupun ia telah membelinya dari supplier. Dengan demikian, dropshipper melanggar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tersebut dalam di atas. Atau bisa jadi dropshipper menentukan keuntungan melebihi yang diizinkan supplier. Jelaslah, ulah dropshipper merugikan supplier, karena barang dagangan miliknya telat laku, atau bahkan kehilangan pasar.

Solusi

Agar terhindar dari berbagai pelanggaran-pelanggaran terebut, Anda dapat melakukan salah dari beberapa alternatif berikut ini.

Alternatif Pertama: Sebelum menjalankan sistem dropshipping, terlebih dahulu Anda menjalin kesepakatan kerjasama dengan supplier. Atas kerjasama ini Anda mendapatkan wewenang untuk turut memasarkan barang dagangannya. Atas partisipasi Anda, Anda berhak mendapatkan fee alias upah yang nominalnya telah disepakati bersama. Penentuan fee bisa saja dihitung berdasarkan waktu kerjasama. Atau berdasarkan jumlah barang yang telah Anda jual. Bila alternatif ini yang Anda pilih,  berarti Anda bersama supplier menjalin akad ju’alah (jual jasa). Ini salah satu model akad jual-beli jasa yang upahnya ditentukan sesuai hasil kerja, bukan waktu kerja.

Alternatif Kedua: Anda dapat mengadakan kesepakatan dengan calon konsumen. Atas jasa Anda untuk pengadaan barang, Anda mensyaratkan imbalan dalam nominal tertentu. Dengan demikian, Anda menjalankan model usaha jual-beli jasa, atau semacam biro jasa pengadaan barang.

Alternatif Ketiga: Anda dapat menggunakan skema akad salam. Dengan demikian, Anda berkewajiban menyebutkan berbagai kriteria barang kepada calon konsumen, baik dilengkapi dengan gambar barang atau tidak. Setelah ada calon konsumen yang berminat terhadap barang yang Anda tawarkan dengan harga yang disepakati, barulah Anda mengadakan barang. Skema salam barangkali yang paling mendekati sistem dropshipping. Walau demikian, perlu dicatat adanya dua hal penting yang mungkin membedakan di antara keduanya.

1. Dalam skema akad salam, calon konsumen harus membayar tunai alias lunas pada awal akad.

2. Semua risiko selama pengiriman barang hingga barang tiba di tangan konsumen menjadi tanggung jawab dropshipper, dan bukan supplier.

Alternatif Keempat: Anda menggunakan skema akad murabahah lil ‘amiri bissyira’ (pemesanan tidak mengikat). Yaitu ketika ada calon konsumen yang tertarik dengan barang yang Anda pasarkan, segera Anda mengadakan barang tersebut sebelum ada kesepakatan harga dengan calon pembeli. Setelah mendapatkan barang yang diinginkan, segera Anda mengirimkannya ke calon pembeli. Setiba barang di tempat calon pembeli, barulah Anda mengadakan negosiasi penjualan dengannya. Calon pembeli memiliki wewenang penuh untuk membeli atau mengurungkan rencananya.

Mungkin Anda berkata, bila alternatif tersebut yang saya pilih, betapa besar risiko yang harus saya pikul. Betapa susahnya kerja saya. Terlebih bila calon pembeli berdomisi jauh dari tempat tinggal saya.

Saudaraku, apa yang Anda utarakan benar adanya. Karena itu, mungkin alternatif tersebut yang paling sulit untuk diterapkan. Terutama bila Anda menjalankan bisnis secara online. Walau demikian, bukan berarti risiko besar tidak dapat ditanggulangi. Untuk menanggulanginya, sebagai penjual, Anda dapat mensyaratkan hak khiyar (hak pilih membatalkan pembelian) kepada supplier dalam batas waktu tertentu. Dengan demikian, bila calon pembeli batal membeli, Anda dapat mengembalikan barang kepada supplier. Sebagaimana Anda juga dapat mensyaratkan kepada calon pembeli bahwa bila batal membeli, ia menanggung seluruh biaya mendatangkan barang dan mengembalikannya kepada supplier.

Semoga dapat menambah khazanah ilmu agama Anda. Semoga Allah Ta’ala memudahkan dan memberkahi perniagaan Anda. Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab.

Keterangan dia atas adalah artikel yang ditulis oleh Dr. Muhammad Arifin Badri, dan diterbitkan dalam majalah Pengusaha Muslim edisi 31