Semakin berilmu seseorang, seharusnya ia semakin tahu akan tanda-tanda Kebesaran Allah SWT, maka seharusnya pula ia semakin beriman kepada-Nya, semoga kita bagian dari orang-orang itu, Amin.

Rabu, 02 September 2015

Hukum meminjam uang di bank syariah

Sahabat  Tiar Solution, kali ini saya akan membagikan sebuah pembahasan dan diskusi yang menarik tentang Fiqih Pengusaha( bisnis) yang sangat lengkap, sistematis, dan mudah untuk di pahami khususnya kepada kalian yang masih bingung tentang kehalalan sebagian produk-produk yang di keluarkan oleh lembaga yang mengatasnamakan sesuai syariat islam(Syariah) Seperti Bank Syariah atau Penggadaaian Syariah dan sejenisnya, namun dipostingan ini akan di fokuskan pada Bank Syariah namun konsep ini bisa digunakan untuk hal yang serupa. Semoga dengan membaca penjelasan yang begitu lengkap ini  Allah SWT memberikan hidayah kepada kita semua sehingga semua harta yang kita pergunakan menjadi lebih jelas kehalalannya dan kebarokahannya serta tidak menjadi suatu hal yang dapat menahan setiap doa-doa yang  kita panjatkan kepada Allah SWT.( Oh iya sebelumnya mohon maaf kami tidak menampilkan huruf arabnya hanya artinya saja dikarenakan kendala teknis yang tidak mendukung)

Diskusi Perbankan Syariah Antara Dr. Muhammad Arifin Badri (Pembina KPMI) dengan Ustadz Praktisi Perbankan Syariah (Bag. 1)
9 Juni 2011 pukul 14:59


Saudara-saudara sekalian, berikut ini adalah diskusi antara ustadz Muhammad Arifin Badri yang merupakan pembina milis Pengusaha Muslim dengan seorang ustadz praktisi perbankan syariah (selanjutnya disingkat UPPS).
Sebelum saudara membaca diskusi ini, ada baiknya kami jelaskan latar belakang terjadinya diskusi. Diskusi bermula ketika UPPS tersebut mengkritisi jawaban ustadz Muhammad Arifin Badri terhadap pertanyaan tentang hukum meminjam uang di bank syariah. Berikut ini kami sertakan Tanya Jawab tersebut:
Pertanyaan:
Assalamualaikum
Saya mau tanya, saya punya rumah sudah saatnya perlu diperbaiki/renovasi, tetapi saya belum mempunyai uang yang cukup untuk memperbaikinya. Kalau saya meminjam uang dari bank (seperti Bank Syariah Mandiri, yang notabene berbasiskan agama Islam, maaf terpaksa menyebutkan namanya) bagaimana?
Kalau di bank tersebut, tidak menyebutnya dengan bunga, tetapi dengan istilah lainnya. Apakah itu termasuk haram?
Jazakumullah khairan katsiran.

Wassalamualaikum.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Selama akadnya adalah hutang-piutang, maka setiap keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak adalah riba dan itu diharamkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba."
 Ucapan Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhuma. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik." (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/334)
Adapun perubahan nama atau sebutan itu tidak dapat merubah hukum, bahkan itu semakin menjadikan dosanya berlipat ganda, dosa memakan riba dan dosa memanipulasi syari'at Allah.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal;-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Untuk mengetahui apakah akad yang ditawarkan oleh bank adalah akad hutang piutang atau akad istisna' atau murabahah, anda dapat mengetahuinya dengan menjawab dua pertanyaan berikut:

    Siapakah yang mendatangkan barang kepada saudara? Bila bank mendatangkan barang, maka itu adalah perniagaan biasa, akan tetapi bila saudara yang mendatangkan barang, maka itu berarti akad hutang piutang.
    Kepada siapakah saudara mengajukan komplain bila terjadi kerusakan atau cacat pada barang/pekerjaan yang anda peroleh dengan akad itu? Bila bank tidak mau tanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang anda peroleh melalui akad itu, maka akad yang terjadi adalah hutang-piutang. Akan tetapi bila bank bertanggung jawab atas kerusakan pada barang yang anda peroleh melalui akad itu, berarti akad itu adalah akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.
Perlu diketahui, bahwa dalam syari'at perniagaan dalam Islam yang dibenarkan untuk mengambil keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallalllahu 'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
Wallahu a'alam bisshowab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M

Berikut ini komentar UPPS terhadap jawaban ustadz Muhammad Arifin Badri di atas (diapit dengan tanda //), dan pada bagian bawah setiap komentar UPPS kami sertakan tanggapan ustadz Muhammad Arifin Badri.
[DIALOG 1]
[Komentar UPPS]
//Pertama, akad yang dijalankan pada bank syariah untuk pengadaan rumah atau konsumtif lainnya adalah jual beli secara murabahah dan bukan hutang piutang (qardh), dengan demikian tidak berlaku hukum qardh, yang jika ada added value dikategorikan sebagai riba atau bunga yang haram. Added value yang timbul adalah profit atau margin dari jual beli barang dan bukan jual beli uang.//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sangat berbahagia hati ini mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan UPPS, salah seorang ustadz Dewan Syariah Nasional. Semoga saya bisa menimba ilmu dan pengalaman yang banyak dari beliau.
Menanggapai komentar Anda di atas, ada beberapa hal yang perlu didudukkan dengan jelas, agar kita tidak salah berpendapat:
1. Bila akad yang dijalin antara Bank Syari'ah dengan nasabah (pemilik rumah yang hendak merenovasi rumahnya) adalah akad murabahah seperti yang Anda sampaikan, maka ini bertentangan dengan komentar kedua Anda di bawah (silakan lihat bagian Diskusi 2 –ed); Anda mengakui bahwa bank adalah lembaga intermediary alias penghubung. Berdasarkan pengakuan Anda di bawah berarti status bank hanyalah sebagai mediator alias calo atau perantara. Bila demikian adanya, maka seharusnya yang diperoleh oleh bank adalah upah/ujrah, dan bukan ar ribhu (keuntungan) yang dihitung dalam prosentasi dari keuntungan proyek. Saya yakin Anda sepakat dengan saya bahwa ujrah/upah berbeda dengan bagi hasil. Bila bank bersikukuh untuk tetap mengambil bagi hasil dan bukan ujrah, maka sikap ini menjadikan akad yang ia jalankan ternodai oleh gharar dan itu diharamkan:
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan (gharar)." (Riwayat Muslim)
2. Dan kalau Anda tetap menganggap bahwa akad yang dijalin antara bank dengan pemakai jasa yaitu pemilik rumah adalah akad murabahah, maka berarti bank telah menjual barang yang belum ia miliki atau belum sepenuhnya dimiliki, karena barang masih berada di tempat dan tanggung jawab penjual pertama, dan itu nyata-nyata diharamkan dalam banyak hadits. Diantaranya pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  berikut:
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad 3/401, 403, Abu Dawud, no: 3503, An Nasa'i 2/225, At Tirmizy no: 1232, Ibnu Majah no: 2187, As Syafi'i no: 1249, Ibnul Jarud no: 602, Ad Daraquthny 3/15, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem 8/519.)
3. Dan bila akad yang terjadi antara bank dengan pemilik rumah adalah gabungan antara murabahah dengan ijarah (jual jasa sebagai perantara) maka itu namanya manipulasi syari'at, dan ini lebih besar dosanya.
"Janganlah kalian melakukan apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian melanggar hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit rekayasa." (Riwayat Ibnu Batthoh dengan sanad yang dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan lainnya). Dan pada hadits lain dikisahkan salah satu bentuk perilaku orang-orang yahudi yang mengakali hukum Allah dengan cara-cara yang membuktikan akan buruknya keimanan dan akal mereka.
Dari sahabat Jabir radhiallahu 'anhu bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), di saat beliau masih berada di kota Makkah, bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa jalla dan Rasul-Nya, telah mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)." Lalu dikatakan kepada beliau: "Ya, Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak bangkai, karena ia digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri) kulit, juga digunakan untuk bahan bakar lentera?" Beliaupun menjawab: "Tidak, itu (menjual lemak bangkai) adalah haram." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
//Kedua, bank adalah lembaga intermediary dan bukan sektor real, sehingga pengadaan barang tidak dapat terlepas dari pihak ketiga (dealer, supplier, atau developer). Kepastian kepemilikan atas barang yang dijual oleh bank syariah adalah dengan mekanisme wakalah, wujud teknisnya purchasing order (PO). Hal demikian sudah diapprove oleh DSN MUI.//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Bila benar ini yang terjadi maka praktek inipun tidak selamat, karena bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan dan masih berada dalam tanggung jawab (dhoman) penjual pertama. Dan ini diharamkan oleh banyak ulama, diantaranya oleh ulama yang bermazhab Syafi'i yang merupakan mazhab umat Islam di negeri kita tercinta. Saya yakin Anda mengetahui perselisihan ulama' seputar masalah:
Pengharaman ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
Dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya." Ibnu 'Abbas berkata: "Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun 'alaih)
Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
Dari sahabat Ibnu Umar, ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut), tiba-tiba ada seseorang dari belakangku  yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: "Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing." (HR Abu Dawud dan Al Hakim). (Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqiq. Baca Nasbu ar-Rayah 4/43 , dan at-Tahqiq 2/181).
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diserahterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini: Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab: "Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (Riwayat Bukhari dan Muslim)



Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja." (Fathu al-Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349)
Adapun apa yang Anda sebutkan bahwa kepastian kepemilikan ditempuh dengan mekanisme wakalah, maka itu menurut syari'at belum cukup, sebagaimana ditegaskan pada hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Berdasarkan kedua hadits di atas dan juga lainnya, para ulama syari'at, melarang kita untuk menjual kembali barang yang kita beli sebelum barang itu berpindah dari tempat penjual pertama dan keluar dari dhomannya (tanggung jawabnya).
Karenanya, bila terjadi komplain terhadap barang yang dibeli, konsumen tidak mengajukan komplain ke bank, akan tetapi ke pihak developer, atau supplier, atau penjual pertama, sedangkan pihak bank terlepas dari komplain itu. Sebagaimana apabila pada tengah-tengah pengadaan barang kemudian  terjadi musibah, pihak bank juga tidak mau tanggung jawab, dan sepenuhnya tanggung jawab dibebankan kepada pihak ke-3 yang berperan sebagai penyedia barang, baik itu developer atau supplier atau lainnya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya dan belum sepenuhnya masuk ke dalam tanggung jawabnya. Padahal diantara prinsip perniagaan dalam islam yang disepakati oleh seluruh ulama' menegaskan:
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.”
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut
"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan."
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)

[DIALOG 3]
[Komentar Ustadz UPPS]
//Ketiga, fatwa yang tidak keluar dan tidak didukung real case studi di lapangan akan menghasilkan fatwa yang keliru atau syadz, dengan demikian kita harapkan para ustadz atau yang sejenis kalau belum memahami hakekat operasional bank, jangan sekali kali melakukan "penilaian dini" yg berdampak fatal dan merusak kafa'ah ilmiyah.//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Sebaliknya juga demikian, fakta yang tidak sesuai dengan fatwa juga salah. Yang saya maksud, adanya fatwa halal belum cukup untuk menjadi jaminan halal atau tidaknya suatu transaksi, sebab bisa saja fatwanya benar akan tetapi aplikasi di lapangan -karena berbagai alasan- menyeleweng dari fatwa tersebut. Terlebih-lebih fatwa DSN MUI tidak sampai membahas pada teknis aplikasinya di lapangan, padahal bisa saja pada tahap aplikasi terdapat penyelewengan.
Dan kalau tidak salah fatwa DSN MUI jumlahnya lebih sedikit dibanding jenis transaksi dan akad yang dijalankan oleh perbankan syariat yang ada (mohon koreksi).
Dan pada kesempatan ini, saya juga perlu mengingatkan saudara-saudaraku para praktisi perbankan syari'at dengan petuah Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu berikut:
"Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba." (Ucapan beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy dengan teks yang sedikit berbeda: "Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah memiliki bekal ilmu agama." (Riwayat ini dihasankan oleh Al Albany)
Imam Al Qurthuby Al Maliky menjelaskan: "Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya. Hal ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam." (Ahkaamul Qur'an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky 5/29)
Menyandingkan antara ilmu syariat dengan ilmu tentang realiti ini begitu penting, karena seorang mufti yang tidak paham akan realita permasalahan yang hendak ia hukumi sangat dimungkinkan akan salah dalam berfatwa. Dan Seorang praktisi yang kurang menguasai ilmu agama, sangat dimungkinkan tersesat ketika hendak menerapkan fatwa, terlebih-lebih realita suatu akad atau kejadian menurut ulama terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama:
Realita yang memiliki pengaruh dalam  penentuan hukum syariat.
Bagian kedua:
Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syar'i.
Realita jenis kedua ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan (??????? ???????). Dan realita jenis kedua ini termasuk dalam "ilmu yang bila diketahui tidak ada manfaatnya, dan bila tidak diketahui juga tidak merugikan."
Contoh nyata dari kedua jenis realita di atas:
A. Berlakunya hukum riba pada emas dan perak (dinar dan dirham) tidak ada kaitannya dengan warna dan bentuk keduanya. Tidak setiap yang berwarna kuning atau putih berkilau berlaku padanya hukum riba, walaupun pada kenyataanya emas berwarna kuning, dan perak berwarna putih berkilau.
B.Diharamkannya khomer, apakah hanya karena ia terbuat dari jus anggur, sehingga minuman yang terbuat dari bahan-bahan lain tidak haram, walaupun memabukkan?
Minuman yang diolah dari bahan tebu atau lainnya, diramu dengan teknologi tinggi, disterilisasi, dan dikemas dengan kemasan yang bagus lagi menarik, kemudian diminum di tempat-tempat yang terhormat, bukan di bar akan tetapi di masjid (misalnya), apakah tidak dikatakan khamr? Tentu orang yang memahami hukum syariat tentang keharaman khamr tidak akan berubah fatwanya hanya karena adanya perubahan dalam hal-hal ini. Syariat pengharaman khamr bukan karena bahan bakunya, akan tetapi sifat memabukkan yang ada pada minuman itu. Dengan demikian, setiap yang memabukkan dalam syariat disebut khamr, dan setiap yang memabukkan maka haram hukumnya.
"Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." (HR Muslim)
Kaitannya dengan permasalahan ini: Dalam fatwa, seorang ahli fiqih tidak diharuskan mengetahui seluk beluk setiap masalah hingga sedetail mungkin, akan tetapi ia cukup mengetahui seluk beluk permasalahan yang mempengaruhi hukum dan dipertimbangkan dalam syariat.
Dan dalam kasus yang menjadi tema pembahasan yaitu akad murabahah dengan merenovasi rumah, atau pengadaan barang konsumtif lainnya telah jelas terdapat unsur-unsur yang terlarang dalam syariat, yaitu gharar atau riba, sebagaimana dijelaskan pada tanggapan saya di atas. Dan saya yakin Anda mengetahui bahwa gharar atau riba adalah bagian dari keempat yang menjadikan suatu akad terlarang dalam syariat. Keempat hal itu ialah:
1. Barang yang menjadi obyek akad adalah barang yang diharamkan.
2. Adanya faktor riba
3. Adanya faktor ketidak jelasan (gharar),
4. Adanya persyaratan yang akan mengakibatkan terjadinya praktek riba atau ketidak jelasan.

[DIALOG 4]
[Komentar UPPS]
//Keempat, fatwa tentang praktek bank syariah dengan akad jual beli secara murabahah sudah diterbitkan bukan hanya level nasional akan tetapi internasional (AAOIFI dan Majma al Fiqh al Islamy OKI)//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Adanya fatwa tentang halalnya murabahah bukanlah hal yang baru. Akan tetapi poin penting yang perlu diingat adalah pemahaman dan aplikasi akad murabahah yang ada di perbankan syariah yang ada. Apakah sesuai dengan murabahah yang dihalalkan oleh para ulama atau hanya sekedar persamaan nama, akan tetapi hakekatnya berbeda?
Saya yakin ustadz mengetahui bahwa istilah murabahah di sini tidaklah sama dengan istilah murabahah yang dimaksudkan oleh para ulama zaman dahulu, atau yang oleh masyakarat sekarang disebut dengan istilah fiqih klasik. Menurut fikih ulama zaman dahulu, murabah ialah seorang pedagang menjual barang yang telah ia miliki kepada konsumen dengan menyebutkan modal pembelian yang ditambah dengan keuntungan dalam persentase atau nominal tertentu.
Agar para pembaca dapat mengetahui perbedaan fatwa Majma' Al Fiqh Al Islami di bawah organisasi OKI, dari aplikasi murabahah yang dijalankan oleh perbankan syariat di negeri kita, berikut saya nukilkan fatwa mereka:
Dengan  Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada sayyidina Muhammad, penghulu para nabi, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Keputusan No: 40- 41(2/5 & 3/5)
Perihal: Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan.
Sesungguhnya rapat pleno Majma' Al Fiqih Al Islami Ad Dauly yang kelima yang diadakan di Kuwait sejak tanggal 1 - 6 Jumadil Ula 1409 H yang bertepatan 10 – 15 Desember 1988 M.
Setelah mengkaji lembar kerja yang diajukan oleh anggota Majma' Al Fiqih dan juga yang ditulis oleh para pakar tentang dua permasalahan: Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan, serta setelah mendengarkan berbagai diskusi anggota Majma' tentang keduanya, maka Majma' Al Fiqih memutuskan:
Pertama:
Akad jual-beli murabahah dengan pemesan bila dilakukan pada barang yang telah sepenuhnya dimiliki oleh penjual penerima pesanan, dan sepenuhnya telah diserahterimakan secara syariat, maka itu adalah akad yang dibolehkan.
Dengan catatan:
    Penjual penerima pesanan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi sebelum barang diserahkan kepada pemesan.
    Bertanggung jawab atas resiko komplain/pengembalian barang karena ada cacat (khafi) yang tidak diketahui oleh penjual pertama/penyedia barang atau alasan serupa yang membolehkan pemesan untuk mengembalikan barang.
    Memenuhi berbagai persyaratan jual-beli.
    Terbebas dari berbagai faktor yang menjadikan akad jual-beli terlarang.
Kedua: Janji/komitmen sepihak dari pemesan atau penjual secara agama bersifat mengikat pihak yang berjanji, kecuali bila ada uzur. Dan janji itu juga mengikat secara peradilan bila dikaitkan dengan suatu sebab sehingga pihak yang dijanjikan terlanjur melakukan pembiayaan dikarenakan janji tersebut. Aplikasi dari sifat mengikat tersebut pada keadaan semacam ini diwujudkan dengan memenuhi janji, baik dengan mengganti kerugian yang benar-benar terjadi akibat dari tidak dipenuhinya janji pembelian atau penjualan yang tanpa alasan.
Ketiga: Janji/Komitmen dari kedua belah pihak (bukan sepihak) dibolehkan dalam akad murabahah dengan ketentuan harus ada hak khiyar (hak membatalkan akad) bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Dengan demikian, bila pada akad tidak ada hak khiyar (membatalkan akad) sama sekali, maka akad ini tidak dibenarkan; karena janji yang sepenuhnya mengikat (tanpa ada hak khiyar) pada akad murabahah seperti ini serupa dengan akad jual beli biasa. Pada keadaan semacam ini dipersyaratkan agar penjual terlebih dahulu telah memiliki barang yang diperjual-belikan, agar tidak melanggar larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya.
Majma' Al Fiqh Al Islamy merekomendasikan berikut:
Berdasarkan fakta yang didapatkan di lapangan bahwa kebanyakan kegiatan perbankan Islam mengarah pada pembiayaan melalui skema murabahah dengan pemesan.
Pertama: Hendaknya gerak seluruh perbankan Islam mencakup seluruh metode pengelolaan perekonomian, terlebih-lebih dengan mendirikan berbagai proyek industri atau perdagangan, baik mandiri atau melalui  menanamkan modal, atau menjalin akad mudharabah (bagi hasil) dengan pihak-pihak lain.
Kedua: Hendaknya diadakan studi banding seputar aplikasi akad murabahah dengan pemesan yang diterapkan oleh perbankan Islam, guna meletakkan pedoman-pedoman yang jelas sehingga pada tahapan prakteknya tidak terjerumus ke dalam kesalahan, serta memudahkan bagi praktisi perbankan dalam mengindahkan berbagai hukum syariat secara umum atau yang berlaku khusus pada akad murabah dengan pemesan. Wallahu a'lam. (Disadur dari majalah Majma' Al Fiqh Al Islami edisi 5, jilid 2 hal: 754 & 965)
***
Dengan demikian, jelaslah bahwa Majma' Al Fiqhi Al Islami TIDAK MENGHALALKAN AKAD MURABAHAH SECARA MUTLAK. Akad murabahah yang dihalalkan adalah yang memenuhi beberapa persyaratan yang telah dijelaskan pada keputusan di atas. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dirisaukan pada tulisan saya, karena yang saya permasalahkan bukan hukum asal akad murabahah, akan tetapi aplikasinya yang ada di perbankan syariat di negeri kita. 
Ada satu hal yang perlu dicatat di sini: Sudah saatnya bagi setiap muslim di negeri kita untuk bersikap kritis, sehingga tidak cukup dengan adanya fatwa halal atau haram terhadap suatu hal, akan tetapi terus mengawal fatwa tersebut hingga pada tahap aplikasinya di lapangan atau masyarakat. Wallahu a'lam bisshowab.
-bersambung insya Allah-
***
Artikel www.pengusahamuslim.com

Sumber: http://pengusahamuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar