Semakin berilmu seseorang, seharusnya ia semakin tahu akan tanda-tanda Kebesaran Allah SWT, maka seharusnya pula ia semakin beriman kepada-Nya, semoga kita bagian dari orang-orang itu, Amin.

Jumat, 02 Oktober 2015

Hukum Bentuk Usaha Perseroan Terbatas(PT) Menurut Syariat Islam ???

Soal:

Jika Perseroan Terbatas (PT) merupakan perseroan yang batil, apakah semua PT statusnya sama, termasuk PT yang bersifat formalitas saja? Lalu bagaimana hukumnya bekerja atau bermuamalah dengan PT tersebut?

Jawab:
Memang betul, status perseroan saham (syarikah musahamah), atau di Indonesia dikenal dengan istilah Perseroan Terbatas (PT), di Malaysia dikenal dengan istilah Sendirian Berhad (Sdn), adalah perseroan yang batil. Kebatilan perseroan saham dan keharaman terlibat di dalamnya bisa dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, dari aspek akad. Lazimnya perseroan saham merupakan akadsyarikah. Faktanya, perseroan ini merupakan tindakan hukum untuk mengelola harta, yang dilakukan bersama-sama. Namun, masing-masing pesero yang terlibat di dalamnya tidak mendasarkan perseroannya pada kehendak bersama (irâdah musytarakah), melainkan kehendak sepihak (irâdah munfaridah) dari masing-masing pesero pada saat melakukan pembelian saham.1

Padahal, fakta syarikah di dalam Islam adalah akad antara dua orang atau lebih yang telah sepakat untuk melakukan usaha yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan (laba). Dengan kata lain, perseroan merupakan akad antara dua orang atau lebih. Karena ini merupakan akad, maka tidak boleh ada kesepakatan sepihak. Kesepakatan harus terjadi di antara kedua belah pihak atau lebih yang terlibat di dalam akad tersebut. Itu baru memenuhi kriteria akad.

Namun yang terjadi, perseroan saham ini tidak memenuhi kriteria akad, karena tidak adanya kehendak bersama (irâdah musytarakah) yang tercermin dalam ijâb-qabûl. Yang terjadi hanyalah kehendak sepihak (irâdah munfaridah) dari seseorang yang menjadi anggota perseroan; dia cukup membeli selembar atau dua lembar saham, tanpa memperhatikan apakah diterima atau tidak oleh pesero yang lain. Ini jelas berbeda dengan akad, yang tidak akan terjadi tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak.

Akad menurut syariah adalah terjadinya ijâb dan qabûl antara dua pihak, baik dua orang ataupun lebih. Dengan kata lain, di dalam akad tersebut harus ada dua pihak. Salah satu menyatakan ijâb, dengan memulai menyampaikan ucapannya, semisal, “Saya menikahi Anda,” atau, “Saya menjual kepada Anda,” atau, “Saya mengadakan perseroan dengan Anda,” ataupun kalimat yang lain. Kemudian yang lain menyatakan qabul, semisal, “Saya menerima,” atau, “Saya rela,” ataupun ungkapan lain yang serupa dengan itu.

Dalam perseroan saham, para pendirinya sepakat atas syarat-syarat perseroan. Namun, mereka tidak secara langsung terlibat dalam menyepakati syarat-syarat perseroan tersebut, tetapi sekadar saling mendelegasikan dan sama-sama sepakat terhadap syarat-syarat tersebut. Kemudian mereka membuat akte, yaitu corporation charter. Setelah itu, akte tersebut ditandatangani oleh setiap orang yang ingin bergabung. Penandatanganan akte itulah yang dianggap sebagai pernyataan ijâbdalam transaksi tersebut. Pada saat penandatanganan akte inilah mereka dianggap sebagai pendiri sekaligus pesero.

Dengan demikian, jelas sekali, dalam hal ini tidak ada dua pihak yang secara bersama-sama melakukan akad, dan di dalamnya juga tidak adaijab dan qabul. Yang ada hanyalah satu pihak yang memenuhi syarat-syarat perseroan, lalu dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, orang yang bersangkutan menjadi pesero. Jadi, perseroan saham ini bukan merupakan kesepakatan antara dua pihak, melainkan kesepakatan sepihak terhadap syarat tertentu.

Kehendak sepihak ini juga tampak setelah badan hukum tersebut melempar sahamnya ke pasar modal. Para investor, untuk menjadi anggota perseroan, hanya perlu membeli selembar atau beberapa lembar sahamnya. Mereka tidak perlu menunggu persetujuan dari pesero yang lain, termasuk apakah anggota perseroan yang lain setuju atau tidak. Ini membuktikan, bahwa untuk menjadi anggota perseroan tersebut, mereka tidak membutuhkan persetujuan yang lain, tetapi cukup kehendak sepihak mereka. Untuk fakta ini, lazimnya dilakukan oleh PT terbuka.2

Berdasarkan fakta tersebut, yakni keterikatan penanam saham, atau pendiri perseroan, atau penandatangan akte pada syarat-syarat yang termuat di dalamnya—tanpa memperhatikan apakah orang lain sepakat atau—tidak jelas merupakan bukti adanya “kehendak sepihak” (irâdah munfaridah). Dengan demikian, “akad” perseroan saham ini merupakan akad batil menurut syariah. Sebab, akad, menurut syariah, adalah keterkaitan ijab yang muncul dari salah seorang yang berakad denganqabul dari pihak lain, dalam bentuk yang disyariatkan dengan dampak yang tampak pada masalah yang diakadkan.

Kedua, dari aspek tasharruf. Perseroan adalah sebuah akad untuk mengelola modal, dan termasuk bentuk pengembangan harta/kepemilikan. Pengembangan harta dengan menggunakan perseroan (syarikah) ini merupakan bentuk pengembangan hak milik seseorang (tanmiyatu al-milk wa al-mal). Pengembangan hak milik ini merupakan salah satu bentuk tindakan yang sah menurut syariah.

Pengelolaan yang sah menurut syariah ini semuanya termasuk kategoritasharrufât qawliyah, yaitu tindakan hukum dalam bentuk ucapan, sepertiijab-qabul. Tindakan hukum seperti ini hanya mungkin lahir dari seorang manusia, bukan dari modal. Karena itu, pengembangan hak milik/harta melalui perseroan tentu harus berasal dari pemilik tindakan, yaitu badan manusianya, bukan dari modalnya. Dalam perseroan saham, justru modal berkembang dengan sendirinya tanpa adanya badan pesero, dan tanpa adanya pengelola yang memang memiliki hak untuk mengelola.

Perseroan ini malah menyerahkan pengelolaannya kepada modal. Sebab, perseroan saham ini hanyalah kumpulan modal, atau persekutuan modal/harta, yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan. Bahkan badan hukum inilah yang dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berhak melakukan tindakan hukum seperti penjualan, pembelian, produksi, pengaduan dan sebagainya.

Ketiga, dari aspek badan hukum. Tindakan-tindakan yang lahir dari perseroan dalam kedudukannya sebagai badan hukum (juristic personality) itu adalah batil menurut syariah. Pasalnya, tindakan-tindakan yang dilakukan seharusnya lahir dari manusia, atau badan manusia, yang memang memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum (syakhshiyyah qanuniyyah). Badan manusia ini jelas tidak pernah ada di dalam perseroan saham.

Harus pula dicatat, status badan hukum berbeda dengan badan manusia. Badan manusia terkena taklif hukum, dan bisa melakukan tindakan hukum, karena statusnya sebagai manusia. Sebaliknya, badan hukum bukanlah manusia, dan tidak bisa dihukumi sebagaimana badan manusia, sehingga bisa dikenai taklif, dan bisa melakukan tindakan hukum, seperti jual-beli, sewa-menyewa dan sebagainya.

Tidak bisa dikatakan, orang yang melakukan kerja dalam perseroan tersebut adalah para pekerja karena mereka adalah orang-orang yang dibayar oleh pemilik modal yang menanamkan sahamnya. Adapun yang mengelola dan mengambil tindakan adalah dewan direksi dan dewan komisaris. Sebab, mereka adalah para wakil pemilik (pemegang) saham.

Tentu tidak bisa dikatakan demikian. Sebab, seorang pesero ditunjuk sebagai pelaku dalam perseroan tersebut, dan akad perseroan atas dirinya sebagai pelaku. Karena itu, dia tidak boleh mewakilkan dan mengontrak orang lain untuk melakukan aktivitas perseroannya. Dia sendirilah yang harus melakukan aktivitas perseroan tersebut. Artinya, para pesero tidak boleh mengontrak para pekerja untuk menggantikannya, juga tidak boleh mewakilkannya kepada dewan direksi. Karena itu, tindakan yang dilakukan dewan direksi adalah tindakan yang batil menurut syariah.

Ringkasnya, perseroan saham—dalam pandangan Islam—pada dasarnya tidak pernah ada sebagai suatu perseroan, karena yang menjadi pesero hanyalah modal. Sama sekali tidak ada unsur badan pesero. Padahal adanya badan pesero ini merupakan syarat utama. Sebab, dengan adanya badan pesero, maka perseroan tersebut bisa didirikan sebagai sebuah perseroan yang sah secara syar’i. Tanpa adanya badan pesero, perseroan bentuk apa pun dipandang tidak pernah ada.

Menisbatkan tindakan hukum kepada badan hukum hukumnya jelas haram. Tindakan hukum (tasharruf) harus dinisbatkan kepada badan yang memiliki kemampuan untuk mengelola, yaitu manusia. Dengan demikian, perseroan saham adalah perseroan batil. Seluruh aktivitas dan tindakan hukum (tasharruf)-nya juga batil. Dari sini, maka perseroan saham merupakan perseroan yang batil. Karena statusnya batil, maka perseroan seperti ini tidak bisa diperbaiki, tetapi harus dibubarkan, dan dibentuk yang baru sama sekali dengan akad yang sah menurut Islam.

Semua harta yang diperoleh melalui perseroan saham ini juga termasuk harta yang batil, karena diperoleh melalui pengelolaan yang batil. Karena itu, harta tersebut tidak halal untuk dimiliki. Ini terkait dengan perseroan saham.

Mengenai Perseroan Terbatas yang bersifat formalitas, yaitu perseroan yang dibentuk sesuai dengan ketentuan syarikah di dalam Islam, baik berbentuk syarikah Mudharabah, ‘Inan, Wujud, Abdan dan Mufawadhah, namun secara formal didaftarkan sebagai badan hukum berbentuk PT, maka statusnya berbeda dengan hukum perseroan saham di atas. Pendaftaran dalam bentuk PT ini hanya formalitas guna mendapatkan izin usaha, maka status hukumnya masuk dalam kategori rukhshah, dan dibolehkan, sebagaimana dalam hadits Nabi saw.:

"Apa yang mereka dipaksa (untuk melakukannya)" (HR Ibn Hibban)
Karena status PT yang terakhir ini termasuk dalam kategori di-ma’fu, maka status bekerja atau bermuamalah dengan PT ini pun dibolehkan.

Patut diketahui, keharaman perseroan saham sebagaimana dijelaskan di atas hanya berlaku apabila pemiliknya beragama Islam. Jika pemiliknya non-Muslim, maka dibolehkan. Sebab, status hukum haram tersebut mengikat kaum Muslim, sementara bagi non-Muslim tidak. WalLahu a’lam.[]
Catatan kaki:

1 Kehendak sepihak (iradah munfaridah) merupakan bentuk tasharruf(tindakan hukum), baik secara lisan (qawli) maupun perbuatan (fi’li). Harus dicatat, tidak semua tindakan hukum ini bisa serta-merta menjadi akad. Karena terbentuknya akad mensyaratkan adanya kehendak bersama (iradah musytarakah), antara dua pihak yang terlibat dalam akad, yang ditandai dengan adanya ijab-qabul. Contoh tindakan hukum sepihak yang sah, tetapi tidak berbentuk akad, adalah wasiat. Orang yang mewasiatkan hartanya kepada orang lain, tidak memerlukan persetujuan ahli waris maupun pihak yang menerima wasiat. Sebab, tindakan hukum ini tidak perlu persetujuan, melainkan cukup kehendak sepihak pemberi wasiat. Sebagaimana hadiah, juga bisa disebut sebagai tindakan hukum sepihak (iradah munfaridah). Ini berbeda dengan tindakan hukum yang melibatkan kehendak bersama (iradah musytarakah), seperti jual-beli, sewa-menyewa, hutang-piutang dan sebagainya. Tindakan ini tidak bisa dilakukan sepihak, tetapi harus dilakukan dengan kehendak bersama. Karena itu, tindakan hukum ini disebut akad, sedangkan yang pertama tidak.

2 Berdasarkan kegiatannya, maka perseroan terbatas tersebut bisa diklasifikasikan menjadi:

a- PT Terbuka: Perseroan terbatas yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal (go public). Setiap orang berhak untuk membeli saham perusahaan tersebut.

b- PT Tertutup: Perseroan terbatas yang modalnya berasal dari kalangan tertentu, misalnya pemegang sahamnya hanya dari kerabat dan keluarga saja atau kalangan terbatas dan tidak dijual kepada umum.

c- PT Kosong: Perseroan yang sudah ada izin usaha dan izin lainnya tetapi tidak ada kegiatannya.

(www.konsultasi.wordpress.com)

Sumber : Majalah Al Waie edisi November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar