BACALAH DENGAN MENYEBUT
ASMA RABB-MU YANG MAHA MENCIPTAKAN. BISMILLAH...
Sahabat tiar solution ada yang mau sharing ni dari sahabat sekaligus trainer senior saya Fikri H.M, semoga mengispirasi kalian semua....
Dalam temaram Ramadhan
ini, Fikri ingin berbagi kisah menarik tentang cara menulis, atau lebih
spesifiknya cara menerbitkan buku. Sebelum kita lanjud ke pembahasan inti,
dalam bab ini saya ingin merubah gaya bahasa tulisan saya dari yang biasanya
bernafas sastrawi mejadi gauli(et… jangan salah paham memaknai kata gaul). Kata kebanyakan
orang sih, gaya tulisan sy itu nyastra bangat. Makanya banyak pembaca yang kudu
banting otak buat ngebaca tulisan saya.
Dalam kasus ini, saya
ingin membongkar misteri di balik buku pertama saya dengan judul TUHAN, IZINKAN
AKU PACARAN. Temen-temen kudu pada tahu bahwa, buku ini saya tulis sebelum saya
duduk di bangku kuliah. Saat ini saya sdh duduk di bangku kuliah smester tiga.
Tanpa maksud sombong, banyak sekali pujian-pujian melayang kepada saya dengan
topic utama kesalutan mereka kepada saya, “Wah, antum hebat bisa nulis buku
sebelum kuliah.” Dll. So, bukan maksud ria pada diri sendiri atau ujub.
Mungkin ini hanya sedikit akibat dari sebab saya menulis. Dan seluruh pujian
yang saya terima, saya hanya membelas singkat “Alhamdulillah”. Segala puji
milik Allah. Selesai.
Nah, kawan-kawanku
semua yang baik hati. Duduk yg manis yah. Baca baik2.. Moga bermanfaat.
Jadi begini, saya
sering sekali disemprot dengan pertanyaan, “Bagaimana sih cara kita menulis
buku?”. Jujur, pertanyaan ini memang singkat. Tapi membutuhkan jawaban yang
sangat tidak singkat. Bagaimana menulis buku? Tapi jangan kaget temen-temen
semua. Sebab saya hanya menjawab dengan tiga cara.
- Menulis
- Menulis
- juga Menulis
Lho kok bisa? Masa
sih?
Tapi sebelumnya saya
mohon maaf sekali lagi. Dalam tulisan saya ini, tanpa ada maksud takabbur
sedikit pun dari hati saya, mungkin akan tmn2 temukan kalimat-kalimat yang
mengandung unsur pujian atau kekaguman pada diri saya. Ini tidak lain adalah
kenyataan yang saya terima. Bukan maksud meninggikan diri. Semoga kalian bisa
berhusnuzzhan akan pujian itu, kiranya dapat menjadi bumbu motivasi untuk
menulis dan berkarya lebih besar lagi kepada bangsa Indonesia dan Agama.
Begini lho sobat. Awal
dari mengapa saya menulis buku, saya ini mempunyai basic pendidikan pesantren
salafi. sebuah pesantren di tepi kota yang brada di provinsi Aceh. Pesantren
saya boleh dibilang sangat jauh dari keramaian kota. Bahkan, dulu, ktika masih
berstatus santri, untuk mencari jaringan internet saja harus menempuh
perjalanan sekitar 45 kilo meter. Bisa bayangin gak tuh bagimana kampungannya?
Itu baru urusan internet. Belum hal-hal lain yang sifatnya terbelakang dari
istilah moderenisasi. ahkan, ketika musibah tsunami dan gempa 2004 lalu,
pesantren saya jg kebagian jatah. Untung saya belum sampai di Aceh ketika itu.
Baru sepuluh bulan kemudian saya menginjak Aceh. Puing-puingnya masih banyak yang
bisa saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Kata teman-teman saya yang
mengalami – bahkan ikut tersert arus – ombak tsunami, ketinggian gelombang
tsunami di pesantren saya sampai lima meter. Bahkan lebih. Korban meninggalnya
sekitar 400 orang. Rumah-rumah warga banyak yang hanya tinggal tanah rata. Eh,
kok jadi bicara tsunami sih? Maksud saya, kalian mungkin bisa berimajenasi
bagaimana kolotnya pendidikan saya dibanding pendidikan di kota metropolitan?
Maka dari sini kita
tidak bisa memprediksi bahwa orang kolot pun ada yang bisa nulis buku yeeh?
Hehe.
Saya mempunyai banyak
hobi. Salah satunya adalah hobi membaca. Saya selalu membiasakan diri untuk
memperbanyak bacaan. Nasehat membaca ini banyak saya temukan dari pelajaran
pesantren – termasuk ayat IQRO BISMI… -. Satu nasehat yang paling manjur
tentang membaca ini saya dapatkan dari seseorang yang tak lain adalah Abi saya
sendiri. “Khie….” Kata Abi. Saya di rumah biasa dipanggil iki. “Kalau kamu mau jadi orang sukses, kamu harus
banyak-banyak membaca. Orang bisa pinter itu bukan dilihat dari berapa
jauh dan berapa lama dia belajar di pesantren. Orang yang pinter dan sukses itu
adalah dia yang suka banyak membaca. Kalau kamu mau sukses, kamu harus
meluangkan waktu untuk membaca minimal satu hari tiga jam. Itu minimal….” Ya.
intinya seperti itu deh.
Dari sinilah motivasi
membaca saya membara, bahkan sampai sekarang. Emang sih, dari kecil sampai
sekarang, Abi selalu mencontohkan membaca. Saya sering, bahkan hinggak
sekarang, menyaksikan Abi sy membaca buku-buku. Abi emang dari dulu udah kutu
buku. Apalagi kitab kuning bin gundul. Di rumah saya ada banyak tumpukkan
kitab-kitab dan buku-buku punya Abi. Kalau mau baca, silakan main ke
rumah. Hehe.
Gayung pun bersambut
cidukan, hingga pelan-pelan saya ketularan penyakit membaca. Sebuah penyakit
yang bagi saya menguntungkan dunia akhirat. Maka apalagi hobi bagi seorang
pembaca kalau bukan masuk dan main-main ke toko buku? Pokoknya membaca. Titik.
Dari dulu sampai sekarang saya ini paling suka masuk ke toko buku. Walau pun
tidak bs beli buku karena tidak ada uang. Saking parahnya, kalau mau masuk ke
toko buku seperti Gunung Agung atau Gramedia, saya harus lihat isi kantong
dulu. Kalau cukup ya masuk. Kalau gak cukup jangan sampe nekat. Bisa sakit hati
nantinya. Lebih parah lagi, kalau ada temen saya yang masih nekat ngajakin
masuk ke toko buku setelah saya tolak dengan alasan lagi kangker alias kantong kering, dia pasti jadi korban
saya mengutang. Udah banyak lho korbannya. Sampai sekarang saya masih punya
utang 100 ribu ama temen saya gara-gara beberapa waktu yang lalu diajak masuk
ke toko buku. Padahal waktu saya lupa bawa duit sama sekali. Ditambah dompet
ketinggalan. Dan ATM pun tak bisa berkutik. Ampe sekarang belum diganti nih.
Saya rada-rada kurang
betah kalau sehari semalam tidak membaca atau menulis. Itulah efeknya. Kalau
temen-temen sering lihat saya jalan kemana aja, pasti saya selalu membawa tas.
Nah, kalau temen-temen tukang razia, coba deh razia tas saya. Di dalamnya pasti
akan ada minimal satu buku yang saya bawa. Pokoknya bawa buku. Sepadet apapun
yang akan dibawa, urusan buku harus tetap diberikan ruang tersendiri di dalam
tas. Walau pun tidak untuk dibaca karena mungkin nantinya akan sibuk. Pokoknya
bawa aja. Sebab saya sadar, pasti bakalan ada waktu tersendiri di saat-saat
kita bengong atau mennggu. Kita tidak pernah bisa memprediksi ngapain
nantinya.
Nah, saya berpikir,
alangkah bermanfaat jika waktu-waktu bengong itu kita kita isi dengan membaca
buku. Setidaknya
kan ada manfaat yang
akan kita rasakan. Paham kan?
*ngaso doeloe*
Suatu hari ketika saya
pulang kampung ke rumah saya di Parung karena liburan pesantren, saya
main ke Gramedia Bogor. Entah kenapa secara tiba-tiba, saya kerasukkan jin aneh
di sana. Kelak saya tahu jin tersebut menjerumuskan saya ke jalan yang baik.
Siapa dan ngapain jin itu? Jin itu adalah jin yang membenihkan di hati saya
rasa iri kepada tumpukkan buku. Saat mata saya menerawang ke rak-rak
tumpukkan buku yang banyak itu, saya berandai-andai kalau saja ada satu buku
yang di situ terpajang nama saya. Buku saya. Buku tulisan saya. Buku yang
saya tulis dengan tangan saya sendiri. Kalau saja. Ya. kalau saja. Dulu sih
mikir kayaknya menulis buku itu mimpi. Mana mungkin orang pesantren kobong bisa
nulis buku? Impcibel deh kayaknya. Apalagi saya gak pernah ikut bergabung di
forum kepenulisan. Bahkan, saya sma sekali tidak pernah ikut seminar tentang
kepenulisan.
*minum dulu ya*
Pas saya udah di
rumah, jin itu ternyata masih anteng di dalam otak saya. Dia tuh seolah-olah
ngomong, “Ayo khi, kamu pasti bisa. Kamu harus menulis buku. Kamu harus
tunjukkan pada orang tua, pada gurumu, pada temenmu, pada Islammu, pada Nabimu,
pada Indonesiamu, pada dunia, bahwa kamu itu bisa menuils. Bahwa kamu, Fikri
Habibullah Muharram layak dan mampu menjadi seorang penulis. Bahkan penulis
best seller. Ayo khi…. Tunjukkan.” Hehe. Katanya.
Dheg…dheg…dheg… duarrrrrrr………………!!
Akhirnya tantangan jin
itu saya jawab ketika masa liburan pesantren habis. Berangktlah saya kembali ke
Aceh dari Bogor. Di pesantren saya mulai memikirkan ceruk-ceruk impian menulis
itu. Pertanyaannya, apa yang harus saya tulis? Sejenak saya berpikir
minat apa yang saya sukai. Ah. Kebetulan sekali, saat itu saya sangat suka
mempelajari kitab kuning, khususnya ilmu Nahwu. Saya tertantang untuk mensyarah
kitab gundul yang jumlah halamannya ratusan itu. Judlunya Kawaakibud Duriyyah,syarah dari Matan Al-Ajruumiyyah. Saya ingin tulis
ulang kitab itu, lalu saya syarah sendiri dgn penjelasan saya. Kalau nantinya
ada yang gak paham saya akan tanyakan penjelasannya pada ustadz-ustadz
saya di pesantren. Alhamdulillah, waktu itu saya menjabat sebagai sekertaris pondok. Privilage yang saya terima, saya boleh dan bisa
mengotak-atik komputer pesantren. Nah, privilege itu secara diam-diam saya
manfaatkan buat menulis dan mensyarah kitab berbahasa arab gundul itu. Makanya
sekarang saya tidak canggung menulis arab. Saya sudah hafal mana alif, mana ba,
mana kasroh, dll. Walau pun keyboardnya bukan keyboar arab (emang ada keyboar
arab?)
Waktu berganti waktu,
saya pun terus menulis. Tanpa saya sadari waktu itu, saya sudah menulis sekitar
delapan puluh halaman dengan format legal, spasi satu, font 12. Hah? Delapan
puluh halaman? Saya senyum sendiri. Hehe.
Ngomong-ngomong, waktu
itu saya berandai-andai kalau saja punya laptop sendiri. Kalau saya punya, saya
pasti bisa nulis lebih banyak tanpa perlu diem-diem menulis di kantor
sekertariat pondok. Saya ambil hp – Alhamdulillah make hp waktu itu udah boleh,
coz saya udah jadi dewan guru di pondok -, lalu saya telepon Abi di Parung.
“Bi… boleh gak ikhie minta laptop.” Kataku. Abi diem sambil menghela nafas
panjang. “Nanti deh. Doain abi biar abi dapat rizki buat beliin laptp. Abi lagi
mikirn buat biaya ummi melahirkan ki. Ummi skrg masih di rawat di rumah sakit.
Biayanya udah lebih dari tujuh juta nih. Ummi dioperasi sesar. Adikmu juga
masih dirawat dan sampai sekarang masih pake oxygen terus. Abi juga pusing. Abi
bahkan punya utang lebih dari lima juta.” Oh tidak. Saya menitikan air mata.
Saya terus sedih dengan ujian keluarga itu. Kenapa? Sebab di kemduian hari adik
saya meninggal dunia. Padahal itu adik perempuan satu-satunya yang saya harapin
bertahun-tahun silam. Maklum, anak pertama
*jadi nangis nih. Udah ah jangan cerita kesitu*
Beberapa bulan
kemudian saya dapat telepon dari Abi. “Khi, abi udah kirimin laptop ke Aceh.
Mungkin tiga hari lagi akan sampai. Laptopnya pake yang bener. Jangan gunain
buat hal-hal yang gak bermanfaat. Jangan sembarangan masukkin flash disk atau
kaset yang rusak. Jaga tuh baik-baik. Ya… laptopnya sih Cuma Pentium tiga. Tapi
buat iki nulis itu sudah oke lah. Nanti juga bakalan sampe Insya Allah.”
*sujud
syukur tak terikra sambil nangis-nangis setelah penantian panjang*
Dengan laptop butut
itu, saya menulis sebanyak-banyaknya. Seratus halaman. Naik jadi seratus dua
puluh. Naik seratus tujuh puluh. Seratus sembilan puluh. Dan ketika melewati
sampai dua ratusan, tiba-tiba laptop saya kumat mendadak. Saya ingat sekali,
ketika itu saya sudah lewat pembahasa bab ISIM ISYARAH. Kenapa tiba-tiba sebuah
virus hebat menyerang laptop saya yang hanya miliki ram di bawah dua ratus lima
puluh giga ples hardis sepuluh giga. Aku tercengang sendirian pas tahu bahwa
seluruh data-dataku hilang seketika. Aku menangis sejadi-jadinya. Saya
merasakan hal itu adalah hal paling buruk yang menimpa saya. Saya ingin mati
aja deh. Gak layak memang jadi penulis. Ditambah, waktu itu saya lagi suka sama
seorang akhwat, tapi gak berani ngungkapinnya. Dia juga udah punya cowok lain.
Hiks. His….. Sakiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttt.
*tereak *
Sampai di sini saya
harus mundur? Ya. karena saya mikir gak akan bisa menjadi seorang penulis. Saya
jadi males nulis. Beberapa hari saya vakum dengan dunia tulis-menulis. Laptop
hanya jadi mainan game kecil2an saja. Mc. Word menjadi makhluk paliing
membosankan sedunia. Sampai suatu hari, jin itu datang lagi. Dia membangkitkan saya lagi. Dia terus
memotivasi saya. Awalnya saya gak begitu yakin dengan cara dia memotivasi saya
untuk menulis. Saya pikir dia cuma ngasih harapan yang tak pasti. Gak berguna
saya nulis. Tapi saya coba pelan-pelan. Dan tanpa saya sadari, saya sudah
menulis sebuah naskah yang banyak berbicara tentang cinta. Itung-itung sambil
latihan, saya kasih judul naskah itu CATATAN SEJARAH CINTA. Ampe sekrang
manuskripnya masih ada nih. Mau lihat? Boleh. Main aja ke rumah. Hehe.
Akhirnya,detik-detik
menjelang perpisahan saya dengan pesantren untuk pulang kampung, naskah
tersebut saya wakafkan ke pondok saya. Ya.. itung-itung sebagai sedikit
pemberian saya kepada pesantren ketika saya akan meninggalkan pesanten. Naskah
itu saya gak terbitin sih, Cuma saya kasih manuskrip hard datanya langsung sama
kawan saya. Eh, dia edit ulang dan naskah saya dibuat semenarik mungkin. Lalu
difoto copiin naskah saya itu ampe banyak. Ia jual naskah itu sama
santri-santri se pondok. Tahu gak sobat? Ternyata lebih dari seratus orang
santri di pondok saya pada baca naskah saya. Mereka diam-diam membeli naskah
saya itu. Katanya isinya menggugah dan menarik. Ah masa sih? Saya
setengah percaya lho ama fakta itu. Padahal dua minggu lagi saya harus udah
terbang ke Jakarta. Saya jadi semakin PD menulis. Keyakinan itu tumbuh
membenih perlahan demi lahan.
Seminggu sebelum
terbang ke Jakarta, di Aceh saya sudah mempersiapkan sebuah ide menulis buku
naskah lagi. Ide yang saya rangkai ini untuk menjawab betapa sedihnya hati saya
yang mencintai seorang wanita, tapi cinta itu hanya mampu saya pendam di hati.
Pelan-pelan saya rangkai siluet-siluet menulis, lalu saya mainkan dalam sebuah
aksi. Saya tidak perlu belajar bagaimana cara menulis. Pokoknya ya menulis.
Titik. Hingga akhirnya, saya baru tahu karena telah banyak menuls dalam hidup
saya. Antara sadar dan tidak sadar, ternyata saya sudah menulis banyak tentang
cinta dalam gaya sastra lho. Saya jadi yakin tuh sama naskah cinta saya. Modal
saya Cuma satu, banyak membaca karya sastra. Udah itu aja. Lalu banyak
gaya-gaya bahasanya yang saya tiru.
Pas waktu itu saya
sudah di rumah. Setelah sholat istikhoroh, saya dapat ilham sebuah kalimat
untuk menjadi paragraf paling permulaan dalam buku saya. Ya. TUHAN, IZINKAN AKU
PACARAN. Kalimat ini yang kelak saya jadikan sebagai judul naskah saya.
Karena belum mengerti
tentang cara menerbitkan buku, saya membeli sebuah buku tulisan Jonru dengan
judul MBIG (Menerbitkan Buku Itu Gampang). Buku setebal – kalau gak salah –
275 halaman itu saya lahap dalam waktu kurang dari tiga hari. Dari buku itu
saya mulai paham sedikit sketsa menerbitkan buku.
Kata Jonru, ketika naskah telah dirasa rampung dan baik,
kita harus tentukan dulu ke penerbit mana kita harus kirim naskah kita. Dalam
hal ini saya memilih penerbit yang sudah saya akui karena bukunya terbitannya
banyak tersebar di seluruh Indonesia. – saya tahu rahasia ini karena melirik
daftar-faftar penerbit dari buku yang saya beli - .Ya. Namanya GEMA INSANI
PRESS atau GIP. Enakhnya di GIP, kita bisa mengirimkan naskahnya dalam bentuk
soft copy atau hard copy. Kalau mau hard copy ya kita print dulu, baru kita
kirim ke penerbit. Boleh juga lewat pos atau datang langsung ke penerbitnya.
Konsekuensinya kita harus ngocek kantong untuk biaya print dan ongkos
pengiriman. Cara kedua dengan mengirimkan email. Ini yang paling simple.
Tinggal lihat apa email redaksi penerbitnya, terus kita kirim deh. Memang sih,
tidak semua penerbit menerima cara yang kedua ini. Untunglah di GIP cara
kedua tersebut masih bisa. Saya pilih cara yang kedua. Karena waktu itu saya gak
punya banyak uang. Saya juga yakin kalau emang jodoh buku saya terbit pasti
bakalan di terima. Saya juga nyadar sih masih penulis pemula yang belum
punya nama.
Saya masuk warnet dan klik, sebuah email dengan terlampir naskah TUHAN,
IZINKAN AKU PACARAN saya kirim ke email penerbit. Saya juga sertakan biodata
lengkap, termasuk nomor hp dan rekening bank yang kagak ada saldonya (buka aib)
hehe.
Dua hari kemudian saya
mendapatkan email balasan dari GIP. Kurang lebih kata-katanya
“Assalaamualaikum Wr. WB. Terima kasih saudara Fikri. Naskah
anda telah kami terima. Mohon menunggu satu bulan untuk proses penilaian
kelayakkan terbit naskah Anda. Jika dalam waktu satu bulan belum menerima
kabar, silakan hubungi kami kembali. Terima kasih. Wassalaamualaikum Wr. Wb. GIP”
*setelah ikhtiar tergigih, saya pasrah apapun jawaban GIP*
Dalam masa penantian
penuh harap ini saya ingat sekali kata Jonru dalam MBIG-nya, lupakan
naskah Anda. Anggap saja Anda tidak pernah memiliki naskah itu. Saya ikut saja apa katanya. Satu bulan
saya tunggu kabar darinya. Sambil menunggu keputusan penerbit atas naskah
TIAP, Saya memperbanyak sedekah, tilawah, dan memohon kepada Allah agar naskah
saya bisa terbit dan bermanfaat. Saya juga minta doa paling mujur. Siapa lagi
kalau bukan sama Ummi? Karena saya sadar, apapun usaha saya, kalau tidak ada
ridho dari Ummi tercinta, semuanya akan sia-sia. Saya tidak banyak curhat
tentang pengiriman naskah ini sama temen-temen. Takut malu dan kecewa
kalau gagal terbit.
Seminggu, dua minggu
mulai lewat. Naksah itu pun benar-benar lupa. Penantian panjang ini menjadi
tiada ada arti ketika naskah itu terlupakan. Sampai akhirnya hampir satu bulan
akan berlalu, tepat pada pukul 15.17 sore, handphone saya berdering dengan
suara khas yang begitu akrab di telinga. Tanda sebuah pesan singkat masuk. Saya
buka, dan saya baca isinya. Tulisannya persis begini
“Asw Fikri, kami dari Gema Insani ingin memberitahu, nskah anda
tinggal menunggu persetujuan dr direktur utama. InsyaAllah sebagian besar tim
penilai menyetujuinya. Hrp tunggu kabar terakhir dari kami. Woro Editor GIP”
*pengen terbang. Tapi jatoh lagi*
Wah, betapa senangnya
saya menerima kabar ini. Sms dari GIP sedikit memberikan celah bagi saya untuk
bernafas lebih lega dari sebelumnya. Ibarat saya sudah berada di gerbang masuk.
Tinggal menunggu dibuka saja setelah pemilik gerbang mengetahui kedatangan saya.
Tapi jujur aja deh, saya masih belum sepenuhnya yakin akan jawaban finalnya
nanti. Kata GIP kan masih harus menunggu persetujuan. Ini baru 80 persen.
Sisanya masih ada kemungkinan ditolak. Saya masih memendam harap pada sms penuh
misteri itu. Saya terus berharap ada kiriman sms dari GIP lagi. Setiap sms yang
masuk selalu membuat saya penasaran. Pernah saya dapat sms sore-sore juga, di
waktu yang sama dengan sms GIP sebelumnya. Saya yakin sekali sms itu datangnya
dari GIP. Pas saya buka isinya ternyata temen saya nagihin utang pulsa dua
belas ribu. Huh.Ngeselin. Kabar terakhir dari
GIP terasa lama sekali bagiku untuk menanti. Kapan tiba kira-kira ya? saya jadi
was-was da bosen sendiri. Dua hari kemudian, tepat pada pukul 13.18 siang,
sebuah pesan singkat kembali datang.
“Aslm Kmi infokan bhwa nskah Anda yg brjdul Tuhan! Izinkan Aku
Pacaran layak u/ dtrbitkan & slanjutnya akn kami krim Draft prjanjian ke
email anda Wslm_Tim GIP.”
*aku terbang melayang.
Menari-nari bersama bidadari. lebay”
Alhamdulillah. Setelah
ikhtiar paling gigih. Saya sujud syukur kepada Allah SWT karena ternyata usaha
saya menulis tidak sia-sia. Saya loncat-loncat tidak karuan. Bahkan Ummi yang
lagi masak di dapur sampe keheranan ngeliat saya rada-rada stress dan error.
Persis kaya anak kecil. Padahal kan saya jarang loncat-loncatan begitu. Setelah
saya ceritakan, ummi dan abi pun ikut bahagia karena anaknya bisa nulis buku.
Mereka senang sekali mendengar kabar dari saya. Nah, sekarang saya tanya pada
teman-teman semua. Kalau sekiranya posisi saya saat itu adalah Anda, kira-kira
apa perasaan Anda ketika mengetahui naskah kita layak dan akan segera menjadi
buku yang dijual di toko-toko buku?
Main bukan apa bukan
main? ayooo???
Seiring perjalanan
waktu. (bahasanya ini mulul ganti ah.)
Di lintasan hari-hari
kemudian. Saya menanti-nanti terbitnya buku saya di pasaran. Pasti penerbit
akan memberitahu kalau buku saya sudah beredar. Apalagi, dalam draft aqad
perjanjian antara penulis dan penerbit, diberitahukan bahwa penulis mendapatkan
sepuluh exemplar buku secaracCuma-Cuma, sebegai tanda bahwa buku telah dicetak.
Selanjutnya ada dua buku untuk setiap kali naik cetak ulang. Bagaimana ya buku
saya itu? Kaya apa ya bentuknya? Bagaimana rupanya? Apa ada nama saya di sana?
Saya jadi penulis buku dong? Kemana-mana saya tetap mendapat julukan
penulis dong? Inilah bayang-bayang penuh kesenangan dalam penantian.
Sampai pada suatu
hari, saya dikejutkan oleh pesan masuk dari nomor tak dikenal
“Congrulation ats trbit`a bku qmu, jdul yg indah, “Tuhan,
Izinkan Aku Pacaran” Semoga Allah nginjinkan kmu pacaran n bsamnjadi best
seller bkan hnya di indo sja tp smpe ke luar negeri.”
Hah? Kok dia bisa tahu
saya nulis buku? Siapa dia ya? Akkhirnya saya ingat ternyata di bagian akhir
buku itu ada nomor saya. Tapi, apa benar buku saya sudah beredar? Ada lagi
pesan masuk dari nomor berbeda yang saya tidak kenal
“Fikriiiiii sprit ap y kamu??? Ak jth cinta dgn tulisan km
TUHAN, IZINKAN AKU PACARAN….”
Oh tidak. Dia juga kok
tahu ya buku saya? Saya penasaran dengan orang ini. setelah saya klarifikasi,
dia mengaku seorang pembaca yang membeli buku TIAP di Gramedia kota Malang. Ini
artinya, buku saya sudah ada di sana. Lagi-lagi masuk SMS. Ini baru dari
Kakak sepupu saya di Cikarang
“SELAMAT YA ATAS PELUNCURAN BUKU PERTAMANYA! CITA2 FIKRI SUDAH
TERCAPAI MENJADI SEORAG PENULIS MUDA. C IIN HANYA BISA BRDOA DARI JAUH, DAN
JANGAN JADI ORG YANG SMBG.”
Dan berratus-ratus sms
masuk terus ke handphone saya.
“Assalaamualaikum. Tuhan,, Izinkan Aku Pacaran!” Subhanallah
keren bgtzz. Yg pling saya suka adlh kutpan “Selamat Tingga Kekasih.. Kami
tidak akan menggu hgga penyesalan seumur napas itu dtang.. Bagi kami, lebih
baik menyesal hari ini dari pada jam trbang taubat telah Allah tutup. Success
kdpan ya. dtunggu bku slnjtnya.”
Ada lagi sms masuk.
Dan ini dari seorang teman yang saya kenal. Dia kakak kelas saya waktu saya
mondok di pesantren Qotrun Nada dulu.
“Tadi ane ketemu temen, terz dy bca buku Tuhan, Izinkan Aku
Pacaran. Eh ane liyet ada nma pengarangnya. N kya`a ane knal ya ama
pngarangnya. Ya udah nih ane iseng ja sms. Alhamdulillah bener. Hebat nte Fik…”
Lagi..
“Asalmlaikum. Ma2f ya klu sblmnya mggu. Aq adalah fans anda, dgn
bku yg berdjul Tuhn, Izinkn aq Pcrn.”
Satu lagi,
“Ini dengan pembaca buku Anda di daerah Jabar. Maaf sbelumnya
klau mengganggu. Saya dapat no Anda dri bku yang saya baca. Jujur, saya sngat
trkesan sekali dgn buku anda. Baru prtama kali membaca buku yang selesai
dalam waktu DUA MALAM”
Yang paling menarik
sebuah testimony dari seorang pembaca atas isi tulisan saya di dalam buku itu
“Maaf akhi saya ganggu.. ni sama Dita di Tasikmalaya. Kalu bleh
jujur, buku yang akhi FIkri tulis benar2 mengubah hati dan fikiran saya. Hingga
pd akhirnya sy berpikir untk memutuskan hubungan ‘pacar’ dan mncoba kmbali pda
kebenaran walaupun sngt terpaksa, berat, dan pasti meninggalkan kesedihan
antara masing2 kami.”
Dari sms-sms yang
masuk itu, apalagi kalau bukan pertanda bahwa buku saya benar-benar telah
beredar di pasaran. Sampai di Tasikmalaya dan Malang segala. Saya kan belum
pernah ke sana. Bgaimana fisik bukunya aja belum tahu. Jelas lah saya
bertanya2, Kaya apa sih buku saya? Saya check di toko buku Gramedia ketika itu.
Dan akhirnya, terpampanglah sebuah buku di rak koleksi buku2 terbru dengan
sAmpul biru. Di situ jelas sekali bertuliskan sebuah judul TUHAN, IZINKAN AKU
PACARAN, lengkap dengan nama penulisnya yang ngegemesin, FIKRI HABIBULLAH M.
Hehe. Nama ciapa tuh?
Kabarnya, cetakkan pertama
sudah LUDES dalam waktu dua bulan. Lalu naik cetak lagi. Bahkan sampai sekarang
udah naik cetak ke tiga. Udah ke empat kali atau lima kali ya? kalau sekali
cetak saja di atas tiga ribu, kalau udah berkali-kali cetak kira-kira berapa
udah eksemplar bku saya? Apalagi di antara sms-sms itu, kelak saya tahu
ternyata buku saya telah beredar di lima pulau besar yang ada di Indonesia.
Dari mulai Aceh, Medan, Padang, Riau, Kalimantan, Pontianak, Balik Papan,
Bangka Belitung, Lampung, dan Jadebotabek. Kalau Jawa Timur dan Jawa Tengah sih
langganan utama. Juga banyak kota-kota lainnya. Khusus sebagai penutup
adalah kota Jayapura di Irian Jaya. Sebuah provinsi paling sudut di Indonesia.
Berarti, buku saya sudah tersebar dimana-mana. Dan ini semua saya tahu
dari para pembaca yang menghubungi saya baik via telepon maupun via sms.
Hari-hari tak pernah
mundur. Ia maju, membawa nama buku saya menjulang tinggi. Kini, akibat dari
buku itu, saya banyak diundang untuk mengisi seminar-seminar bedah buku ke
berbagai macam tempat. Seperti kampus-kampus elite, atau sekolah2 bonavide.
Sudah tak terhitung berapa jumlahnya. Pastinya, fee yang saya dapatkan dari
bedah buku itu punya amplop khusus. Setiap bedah buku kan saya juga jual buku
saya sendiri. Dari situ juga dapat rizki pelan2. Alhamdulillah. Dari royalty
dan tabungan itu, sekarang saya bisa membeli satu handphone baru dan notebook
baru merek HP seri terbaru –waktu itu-. Ini artinya, saya sudah tidak minta
uang lagi sama Abi dan Ummi. Kalau perlu ngasih pelan-pelan. Ya iya lah, malu
atuh udah gede, masa minta duit terus sih? Buat apa saya dididik dari kecil
kalau tidak pernah mandiri dalam berfinansial? Ca elah. Gaya loh ah. Bisa gini juga gara-gara doa Ummi dan
Abi. Alhamdulilah.
Sampai sekarang ada
dua buku lagi yang terbit setelah TIAP dalam bentuk antalogi. Jdulnya SUNGGUH,
AKU MENCINTAIMU KARENA ALLAH dan JANGAN LUKAI IBUMU.
Nah kawan-kawan,
sekelumit kisah saya di atas, setidaknya menjadi bukti bahwa menulis itu bukan
bagaimana kita pintar menulis. Saya yakin, jika ada kemauan setiap orang pun
bisa menjadi seorang penulis. Ya. sekali lagi, kalau ada
kemauan. Seberat apapun batu
penghalangnya, tetap akan pecah jika tekad kita telah membara dan membaja kian
kukuh. Ingatkan kata mahfuzat yang sering kita dengar, idzaa shodaqol azmu, wadhahas
sabiil. Kalau tekad udah
bulat, maka jalan akan terbuka sendiri. Dan saya sudah membuktikan itu.
Mau jadi penulis kan?
Tunggu apalagi kawan. Saya dapat nasehat dari guru saya, Prof. Dr. K.H. Ali
Musthafa Ya`qub. Kata beliau, wa laa tamuutunna illa wa antum kaatibuun. Dan janganlah engkau mati kecuali menjadi
seorang penulis. Hehe. Bener bangat tuh.
Dan Alhamdulilah, GIP
telah menobatkan buku saya sebagai salah satu buku BEST SELLER untuk katagori
penulis pemula yang baru berkiprah dalam dunia tulis-menulis.
Mohon doanya, saat ini
Fikri sedang merampungkan sebuah novel menggugah dan inspiratif. Apa judulnya?
Nanti saja kalau udah terbit. Hehe.
Teman-temanku yang
sholeh dan sholehah. Ini sedikit goresan hati yang ingin saya tumpahkan, juga
sebagai jawaban dari teman-teman yang banyak bertanya tentang cara BAGAIMANA
MENJADI SEORANG PENULIS PEMULA YANG BISA MENERBITKAN BUKU. Semoga ini
bermanfaat. Sekali lagi, mohon maaf bila ada unsur ke-takabburan. Wallahi,
semua itu hanya testimoni agar anda pun terbangkit, tergairah, sebagaimana saya
sebelumnya merasakan demikian.
Akhirnya, kalau saya
aja bisa nulis sbelum kuliah, anda juga bisa kan?
SALAM. FIKRI
H.M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar