Kisah tentang kekuatan Spiritual yang di alami oleh alumni ESQ Ary Ginanjar
Pada 16 Januari 2002, Kapten pilot Abdul Rozak Alumni Training ESQ Ary Ginanjar sedang bertugas menerbangkan pesawat Boeing 737-300 dengan nomor flight GA 421 rute pelabuhan udara Selaparang, Lombok menuju pelabuhan udara Adi Sucipto, Yogyakarta. Cuaca saat itu normal, dan pesawat telah mencapai ketinggian 31.000 kaki. Di atas kota Blora, pesawat yang dikemudikannya tiba-tiba masuk ke dalam awan Comunilimbus , sejenis awan tebal yang berbahaya. Kapten Abdul Rozak tidak dapat menghindarinya, dan saat itu tidak ada alternatif lain, kecuali menembus awan tersebut. Tiba-tiba kedua mesin pesawat itu mati pada ketinggian 23.000 kaki. Sesuai prosedur, Kapten Abdul Rozak segera menghidupkan generator untuk menghidupkan kembali mesin yang mati itu. Namun, yang terjadi justru electricity power rusak. Artinya, mesin dalam keadaan mati semua.
Kapten itu segera melakukan wind mailing, yaitu mencoba memutar kembali propeller mesin dengan dorongan udara, kira-kira seperti mendorong mobil mogok, yaitu dengan meluncurkan pesawat ke bawah. Namun, ternyata usaha itu pun tidak membawa hasil. Listrik mati sehingga di dalam pesawat menjadi gelap. Sementara itu, pesawat terus turun dari 23.000 kaki hingga ke 8000 kaki. Saat itu, terbayang di benaknya, nasib para penumpang yang berada di belakang ruang cockpit yang tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Ia mulai panik. Semua prosedur penerbangan sudah dijalankannya, tetapi tidak membantunya sama sekali. Ia mengirim pesan, “Mayday…mayday!” berulang kali, namun tidak ada jawaban. Pada saat itulah, ia pasrah. Ia hanya berdoa memohon bantuan Tuhan dan menyerahkan nasib dirinya dan para awak penumpangnya sepenuhnya kepada Allah. Kapten Abdul Rozak berteriak, “Allahu-Akbar!” tiga kali
Lalu, pesawat itu tiba-tiba keluar dari awan sehingga ia bisa melihat dengan jelas semua yang terhampar di hadapannya. Ia harus mendaratkan darurat pesawat besi seberat lebih dari 62 ton itu dengan mesin dalam keadaan mati dan di dalamnya terdapat puluhan penumpang tidak berdaya. Di hadapannya, terlihat jelas hamparan sawah dan sebuah sungai. Ia harus membuat keputusan dengan cepat dan tepat, “Mendarat di sawah yang terlihat rata atau mendarat di Sungai Bengawan Solo dengan sebuah jembatan melintang di depannya?” Apabila ia salah mengambil keputusan maka akan berakibat fatal, yaitu kematian dirinya dan kemungkinan seluruh penumpang. Kapten Abdul Rozak berdiskusi dan berargumentasi singkat dengan co-pilot, dan akhirnya diambil keputusan dramatis. Pesawat akan mendarat secara darurat di sungai, dan menjadikan sungai Bengawan Solo yang cukup dalam itu sebagai run-way.
Keputusan telah dibuat dan pesawat Boeing itu akhirnya melakukan descend atau turun dari ketinggian dan melakukan approach mendekati “landasan pacu” dan siap untuk landing di atas Sungai Bengawan Solo! Ternyata, saat mendekati “landasan pacu”, sebuah jembatan besi menghadang, yang memaksanya berputar kembali agar dapat mendarat setelah jembatan besi itu. Setelah melewati jembatan itu dengan mesin mati dan tanpa tenaga pendorong, pesawat itu meluncur, dan subhanallah…ternyata pesawat berhasil landing.
Namun, masih dalam keadaan meluncur, tak jauh di depannya menghadang lagi jembatan beton kedua, yang siap melumat pesawat apabila menabraknya. Namun tanpa disangka, sebelum sampai jembatan, tiba-tiba pesawat itu menabrak batu hingga bagian belakangnya sobek, dan membuat pesawat mendadak berbelok ke kanan, ke tempat yang lebih dangkal, dan tidak menabrak jembatan. Namun, pada saat itulah, salah seorang pramugari meninggal karena tersedot keluar akibat lubang oleh batu besar tadi. Namun, bisa dibayangkan, jika pesawat itu meluncur terus dan tidak berbelok ke kanan, tidak mustahil pesawat itu akan menabrak jembatan, dan tenggelam di Sungai Bengawan Solo yang dalam.
Pesawat akhirnya berhenti dengan selamat di sisi kanan sungai pada tempat yang dangkal. Padahal, di sekitarnya kedalaman air sekitar ±10 meter. Seluruh penumpang bisa keluar dari pintu pesawat. Kabin pesawat dengan tekanan udara yang demikian kuat itu, justru dengan cepat dapat dibuka karena lubang yang tercipta akibat tabrakan batu besar tadi. Seluruh penumpang dapat diselamatkan, walau seorang pramugari urung terselamatkan. Di tempat itu, ada sebuah rumah kosong dan sebuah mobil sehingga para penumpang bisa segera dievakuasi, Subhanallah!
Ary Ginanjar mengatakan hal lni adalah sebuah peristiwa luar biasa, yang jarang terjadi di dunia penerbangan. Karena dalam kasus-kasus sejenis, umumnya banyak korban berjatuhan karena gagal mendarat. Sekarang, marilah kita bahas dengan kacamata ESQ, sebagaimana proses luar biasa ini dapat terjadi. Pada saat mesin mati, sang pilot masih bisa berpikir jernih untuk menghidupkan generator untuk menyalakan kembali mesin. Pada saat itu, fungsi otak neo-cortexsebagai tempat bekerjanya kecerdasan intelektual atau IQ masih berfungsi normal karena sang pilot terbukti masih mampu “berbuat” dengan tepat dan sesuai prosedur. Artinya, amygdala, di mana kecerdasan emosi bekerja, masih dalam keadaan terkendali dengan baik.
Ketika seseorang dalam keadaan sangat panik, biasanya fungsi kecerdasan intelektualnya terganggu dan terpengaruh. Buktinya, cobalah membuat perhitungan matematika yang rumit, sementara rumah Anda sedang kebakaran. Pada saat itu, amygdala Anda akan mengambil alih kontrol. Anda akan panik, dan pasti lupa dengan semua rumus matematika untuk menghitung. Pada kasus penerbangan di atas, ketika generator dicoba untuk dihidupkan, hasilnya malah mematikan seluruh electric power. Pada saat itulah, mulai terjadi kepanikan dan amygdalasudah tidak lagi terkendali. Bayangkan, tidak ada listrik, semua dalam keadaan mati, mesin tidak berfungsi, pesawat dalam kegelapan, penumpang di kabin panik, dan pesawat berada di dalam awan Comunilimbus yang gelap dan pekat. Saat itulah, sang Kapten pasrah karena merasa tidak berdaya. Dia telah berusaha dengan segala upayanya, namun pesawat seperti tak terkendali. Kemudian, ia ikhlas menyerahkan nasib dirinya dan penumpangnya kepada Allah. Pada saat itu, terjadi apa yang Ary Ginanjar Agustian namakan Zero Mind Process (ZMP). Ketika manusia merasa pasrah secara spiritual, ketika merasa kemampuannya telah habis, ketika manusia merasa tidak berdaya di hadapan Sang Ilahi, justru saat itulah kecerdasan spiritual mengambil peranan penting.
Fungsi neo-cortex yang menjalankan kecerdasan intelektual tidak lagi dikendalikan oleh otak amygdala (EQ), tetapi diambil alih langsung oleh God Spot. SQ dengan leluasa memberikan ketenangan secara fantastis sehingga fungsi IQ (neo-cortex) dan EQ (amygdala) kembali stabil dan berfungsi normal. Pada saat itulah, keputusan tepat dan rasional mampu diambil, yaitu menjadikan sungai sebagai run-way. Bayangkan, seandainya pesawat didaratkan di sawah yang tampaknya rata dari atas, namun sebenarnya justru tanahnya keras. Bukannya tidak mungkin pesawat akan hancur, meledak dan terbakar habis. Artinya, SQ-lah yang mampu memberikan ketenangan tertinggi, bukan IQ ataupun EQ. SQ bekerja saat manusia dalam keadaan ZMP ketika manusia merasa ikhlas kepada Allah, maka Dia jua-lah yang kemudian menyelesaikan permasalahan yang dihadapi manusia. La hawla walaa quwwata illa billah. Pada peristiwa Bengawan Solo itu, Allah menolong Kapten Rozak. Kisah itu hampir mirip dengan kisah Nabi Musa saat dikejar pasukan Fir’aun dan Allah menyelamatkannya dengan terbelahnya Laut Merah oleh tongkat Musa. Saat itu, Musa merasa dirinya zero (0), pasrah kepada Dia Yang Maha Esa (1). Kapten Rozak dengan ‘tongkatnya’ membelah ‘Laut Merah’. Tongkat itu adalah pesawatnya, dan Laut Merah itu adalah Sungai Bengawan Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar