PERINTAH menundukkan pandangan menjadi sesuatu yang asing di kalangan ummat Islam saat ini. Betapa tidak, kondisi ummat Islam yang semakin hari semakin jauh dari agama dan penjegalan terhadap dakwah Islam yang dilakukan oleh berbagai kalangan menjadi penyebab utama tenggelamnya syariat Allah Swt.
Walaupun demikian, masih ada beberapa orang yang tsiqoh terhadap syariat agamanya. Mereka tetap Menaati perintah Allah Swt yang satu ini sekalipun nyaris tidak mungkin untuk dilakukan.
Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. an-Nur: 30-31)
‘Ali bin Abi Thalib r.a ia berkata, “Bahwasannya Nabi Saw membonceng Al-Fadhl bin ‘Abbas di belakang beliau ketika haji, kemudian datang seorang wanita dari Khats’am yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. maka Nabi Saw. memalingkan kepala Al-Fadhl agar tidak melihat kepada wanita tersebut. Maka paman beliau (al-‘Abbas) berkata kepada beliau: “Engkau memalingkan kepala anak paman Engkau, wahai Rasulullah?”. Maka Beliau menjawab: “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak merasa aman dari syaithan terhadap mereka berdua.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Al-Haafidh Abu Bakr al-‘Amiriy r.a mengomentari hadits ini dan berkata: “Yaitu (beliau khawatir) hati mereka sibuk saling memikirkan yang lain apabila memandang. Maka lihatlah bagaimana beliau melakukannya pada anak paman beliau sendiri di hadapan ayahnya saat dia sibuk dengan perkara haji dan beliau tidak merasa aman terhadap tabiat dari fitnah, sedangkan syaithan terus menggoda dan menguji.(Ahkamun-Nadhar ilal-Muharramat, hal. 42).
Dalil-dalil ini sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa memandang kepada lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada urusan tertentu adalah haram hukumnya.
Namun jika kita melihat kenyataan pada saat ini, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang serba sulit dan butuh penanganan khusus dalam menghadapinya, contoh; bagaimana cara menundukkan pandangan jika kita sedang mengendarai sepeda motor lalu persis di depan kita terdapat pelacur yang berpakaian minim sedang dibonceng. Atau jika kita seorang guru, lalu kita mengajar di kelas yang para siswinya mengenakan rok yang sangat pendek padahal sekolah itu berlabel Islam. Atau jika kita seorang pedagang, lalu kita harus melayani wanita pengumbar aurat yang sedang membeli dagangan kita.
Belum lagi kebiasaan masyarakat kita yang sangat senang menyoraki wanita seksi yang sedang melintas di depan mereka. Dengan bangganya mereka memelototi wanita tersebut sambil berkata “ini rezeki, bodoh sekali kalau tidak dinikmati.”
Inilah fakta di lapangan. Akan tetapi hukum tetaplah hukum. Sesulit apapun hukum tersebut dijalankan bukan berarti boleh dihapuskan. Ajaran Islam yang tegas, lebih mendahulukuan tindakan preventif atas semua bahaya yang mengancam. Karna awal dari perzinahan adalah pandangan mata. Sesulit apapun kita memalingkan pandangan atas apa yang diharamkan oleh Allah Swt. maka tetap kita harus lakukan jika ingin selamat.
Memang demikianlah tabiat kehidupan di dunia ini. jalan menuju surga adalah jalan yang dihiasai oleh segala hal yang tidak disenangi oleh jiwa. Selain faktor internal dalam diri juga faktor eksternal yang menjadikan kita harus shabar dan terus bershabar jika ingin berjalan di atas jalan menuju surga.
Sebaliknya, jalan menuju neraka dihiasi oleh syahwat yang menggelegak. Birahi yang berkobar tiada henti menyebabkan sebagian besar manusia terperosok ke jurang neraka. [Azam/Islampos]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar